A. Review Berbagai Macam Teori Belajar/ Alur
Pikir Siswa
1.
Behaviorism Theory
Adalah sebuah teori tentang perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi
aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan
praktik pendidikan
dan pembelajaran
yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, men-dudukkan
orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu
dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Menurut
teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi atau dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon
juga semakin kuat. Beberapa
prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
(1) Reinforcement and Punishment; (2)
Primary and Secondary Reinforcement;
(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning;
(6) The Elimination of Responses
(Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan
dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta
peranannya dalam pembelajaran.
1)
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau tindakan. Jadi perubahan tingkah laku
akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau
tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula
dengan teori koneksionisme.
Ada
tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana
hal-hal tertentu dapat memperkuat respon
2)
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang
dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
memengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu da-lam memahami tingkah laku seseorang
secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya,
serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin timbul akibat respon tersebut.
Analisis Tentang
Teori Behavioristik
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu.
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan
faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan pe-nyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner
dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Skinner tidak setuju terhadap
hukuman dalam proses belajar, dikarenakan beberapa alasan, yaitu:
·
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat
bersifat sementara;
·
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi
bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
·
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain,
hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala
lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya
kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama
dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan
(sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah
ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon
yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum
karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah
penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan
penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Sumber:
www:http//teori
belajar behavioristik-wikipediabahasaIndonesia, ensiklopedia bebas.html
2.
Social Cognitive Theory
Albert Bandura (1986) mengembangkan dan mendefinisikan teori sosial
kognitif yang mengemukakan bahwa orang-orang tidak didorong oleh kekuatan batin
atau secara otomatis dibentuk dan dikendalikan oleh rangsangan eksternal.
Sebaliknya, fungsi manusia dijelaskan dalam model triadic reciprocal determinis, yaitu dorongan dua arah yang berdampak pada perkembangan. Dalam model ini, yang dapat
divisualisasikan sebagai sebuah segitiga sama sisi, perilaku, kognitif dan
faktor personal lainnya dan peristiwa lingkungan semua beroperasi sebagai
faktor penentu berinteraksi satu sama lain. Sifat orang kemudian didefinisikan
dalam perspektif triadic ini.
Timbal balik (reciprocal) merujuk
pada aksi menguntungkan sementara determinisme menandakan produksi pengaruh.
Karena keanekaragaman pengaruh interaksi dalam tiga serangkai, kondisi yang
berbeda dapat menyebabkan atau membantu pengaruh yang berbeda.
Oleh karena itu sifat orang yang muncul adalah unik meskipun semua orang
didefinisikan dalam tiga serangkai. Karena orang-orang memiliki kemampuan
diarahkan diri mereka mampu melakukan kontrol yang signifikan atas pikiran
mereka, perasaan dan tindakan. Fungsi pengaturan diri (self regulation) ini merupakan bagian penting dari teori kognitif
sosial. Ada interaksi yang berkelanjutan antara diri yang dihasilkan dan sumber
pengaruh eksternal. Orang yang membuat panduan untuk perilaku mereka, motivator
diri untuk kursus tindakan dan kemudian menanggapi perilaku mereka dengan cara
evaluasi diri. Sangat sering standar yang digunakan untuk menilai perilaku
didasarkan pada reaksi orang lain yang signifikan dengan perilaku ini.
Penelitian di mana teori ini didasarkan mengandung banyak sisi yang
membantu menjelaskan bagaimana orang memperoleh pengetahuan tentang perilaku
sosial manusia yang diperlukan agar dapat berfungsi. Salah satu aspek penting
dari pembelajaran sosial manusia adalah modeling.
Modeling
Pada tahun 1963 Bandura dan Walters pertama kali menggunakan pembelajaran
sosial untuk menunjukkan bahwa pembelajaran akan sangat membosankan jika orang
harus bergantung pada trial and error ketika belajar. Untungnya, sebagian besar
perilaku manusia dipelajari secara observasional melalui pemodelan.
Individu cenderung untuk memilih model yang prestisius, yang mengontrol
sumber daya, atau mereka yang mendapatkan hadiah atas apa yang mereka lakukan.
Dengan kata lain, mereka yang perilakunya dirasakan bernilai di dalam budaya
mereka. Imitasi terhadap model adalah elemen yang sangat penting dalam
bagaimana anak belajar bahasa, menghadapi agresor, menumbuhkan moral, dan
belajar perilaku sesuai gender. Belajar mengamati dapat terjadi jika individu
tidak meniru perilaku yang diamati (Papalia, 2014: 34-35).
Konseptualisasi pemodelan Bandura jauh lebih komprehensif daripada
sebelumnya dan berisi ketentuan untuk mengembangkan pemikiran baru secara kreatif.
Dia menyarankan kita untuk mengamati orang lain dan menyandikan informasi yang
akan berfungsi sebagai panduan untuk tindakan selanjutnya. Modeling adalah
metode pembelajaran sosial sangat efisien yang bisa dilakukan dan dialami
sendiri, hanya melalui hasil pengamatan orang lain. Kelima jenis perilaku
sosial yang dapat dipelajari dengan cara ini adalah 1. keterampilan kognitif
baru dan perilaku; 2. menguatkan atau melemah hambatan yang dipelajari
sebelumnya; 3. petunjuk sosial atau bujukan; 4. bagaimana menggunakan
lingkungan; 5. ketika menjadi terangsang dan apa reaksi emosional untuk
mengekspresikan (Tuckman, 1992).
Bandura memperbarui versi dari teori sosial belajar menjadi teori sosial
kognitif. Perubahan nama merefleksikan pengaruh besar dari proses kognitif
sebagai inti dari perkembangan. Proses kognitif bekerja seperti individu
mengamati model, belajar potongan kecil dari beberapa perilaku, dan secara
mental mengambil potongan-potongan tersebut bersama ke dalam pola perilaku baru
yang kompleks.
Efikasi diri (Self efficacy)
Self efficacy adalah konsep utama dalam perilaku dan motivasi teori
Bandura. Menurut Bandura self efficacy adalah penilaian seseorang tentang
kemampuan sendiri untuk melakukan suatu tindakan dengan sukses. Teori Bandura
memprediksi bahwa orang akan memilih, terus berada di dalam, dan mengeluarkan
usaha pada tugas-tugas yang mereka percaya bahwa mereka dapat melaksanakan
dengan sukses. Teori ini juga menunjukkan bahwa orang akan menghindari situasi
yang mereka percaya melebihi keterampilan mengatasi mereka. Bandura selanjutnya
berteori bahwa self efficacy yang baik akan memberikan ketahanan bagi individu
kreatif untuk bertahan dalam mengupayakan tujuan bahkan setelah ditolak
berkali-kali. Orang harus memiliki perasaan yang cukup kuat dari self efficacy (faktor
percaya diri) karena kompleksitas masyarakat saat ini. Jadi selain keterampilan
yang dibutuhkan untuk berfungsi dalam masyarakat akan ditambahkan kebutuhan
rasa self efficacy cukup kuat.
Relevansi Pendidikan
Di sekolah saat ini telah menjadi semakin penting bagi guru memikul
tanggung jawab untuk mengajarkan keterampilan sosial dan perilaku yang baik. Tampaknya
teori Bandura, penelitian dan keyakinan semua akhirnya memusatkan perhatian
dengan pemberdayaan orang di masyarakat yang adil dan peduli, tujuan yang sama
seperti semua pendidik harus memilikinya di dalam kelas. Tujuan ini adalah
memberdayakan anak-anak untuk berpikir dan bertindak secara mandiri dengan cara
yang murah hati. Lebih dari 200 tahun yang lalu Jean Jacques Rousseau
mengatakan "Jauh dari mengecilkan hati keberanian pada murid Anda, tidak
ada cadangan untuk mengangkat jiwanya, membuat mereka sama dengan Anda agar
mereka bisa menjadi sama dengan Anda" (Rousseau, 1762).
Sumber:
http://etec.ctlt.ubc.ca/510wiki/Albert_Bandura-Social_Cognitive_Theory
Papalia, Diane.,
dkk. 2014. Menyelami Perkembangan Manusia.
(Alih bahasa: Fitriana Wuri Herarti). Jakarta: Salemba Humanika
3.
Cognitive Information Processing
Perspektif kognitif berfokus
pada proses dan perilaku yang merefleksikan proses. Perspektif ini meliputi
kedua pengaruh teori organismik dan mekanistik. Hal ini termasuk teori tahap
kognitif dari Piaget dan teori sosial budaya dari Vygotsky dalam perkembangan
manusia. Hal ini juga termasuk pendekatan pengolahan informasi.
Terletak belajar kognitif
adalah teori yang mengemukakan belajar "secara alami terkait dengan
aktivitas otentik, konteks, dan budaya" (Brown, Collins, & Duguid,
1989). Teori ini menunjukkan bahwa lebih sulit untuk belajar dari kegiatan unnatural.
Sebagai contoh, belajar bahasa pertama atau bahasa asing secara meluas dianggap
lebih mudah daripada belajar bahasa dari buku teks dan daftar kosakata.
1)
Proses Pemerolehan Informasi (Jean
Piaget)
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata
tentang bagai-mana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan
per-kembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi
secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme,
yang berarti, tidak seperti teori nativisme
(yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan
kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa untuk membangun kemampuan
kognitif melalui tindakan yang termotivasi
dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami
dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi seiring pertambahan usia:
·
Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun
·
Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
·
Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
·
Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan
lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam
menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik
secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui
sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori
pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan
pengalamannya dalam mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya
digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya
ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis
binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari,
anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning,
dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta.
Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung
untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi
baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena
seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang
diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam
contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung"
adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang
melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang
tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi
pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung
unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label
"burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung
si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi
seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke
tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena
ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan
seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan.
Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai
dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. Dengan demikian, kognisi
seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif
tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya
2) Teori Sosial Budaya Lev Vygotsky
Vygotsky melihat pertumbuhan kognitif sebagai proses kolaborasi.
Vygotsky menyatakan bahwa individu belajar melalui interaksi sosial. Mereka
mendapatkan keterampilan kognitif sebagai bagian dari pengenalan mereka dalam
cara hidup. Berbagai aktivitas, membantu anak menginternalisasi mode-mode
lingkungan sosial untuk berpikir dan berperilaku. Vygotsky meletakkan penekanan
khusus pada bahasa, tidak hanya sebagai ekspresi dari pengetahuan dan pikiran,
tetapi juga makna esensial untuk belajar dan berpikir mengenai dunia.
Berdasarkan Vygotsky, orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih maju harus membantu mengarahkan dan mengatur belajar anak sebelum anak
dapat menguasai dan menginternalisasi dalam diri anak. Pedoman ini sangat
efektif untuk membantu anak melewati zone of proximal development (ZPD), yaitu
celah antara apa yang telah berhasil dilakukan oleh diri mereka sendiri dan apa
yang bisa mereka capai dengan pendampingan. Instruksi yang sensitif dan
efektif, selanjutnya menjadi tujuan dari ZPD dan meningkat dalam kompleksitas
dari kemampuan anak yang membaik. Tanggung jawab untuk mengarahkan dan
memonitor tahapan belajar beralih ke anak.
Scaffolding adalah dukungan sementara yaitu orang tua, guru,
dan lainnya yang diberikan ke anak untuk melakukan tugasnya hingga anak bisa
melakukannya sendiri. Teori Vygotsky memiliki implikasi penting untuk
pendidikan dan pengujian kognitif. Pengujian yang berfokus pada potensi anak
untuk belajar menyediakan alternatif yang bernilai terhadap tes intelegensi
standar yang menguji apa yang telah anak pelajari. Ide-ide Vygotsky yang telah
sukses diimplementasikan pada kurikulum anak-anak prasekolah menunjukkan janji
yang besar untuk mempromosikan perkembangan dari self regulation (pengaturan
diri), yang akan berdampak pada pencapaian akademis.
Pendekatan Pengolahan Informasi
Pendekatan pengolahan informasi digunakan untuk menjelaskan
perkembangan kognitif dengan menganalisis proses yang melibatkan membuat masuk
akal informasi yang datang dan menampilkan tugas secara efektif; misalnya
proses atensi, memori, strategi perencanaan, pengambilan keputusan, dan
penetapan tujuan.
Beberapa teori pengolahan informasi membandingkan otak dengan
sebuah komputer, ada input-input tertentu (impresi sensori) dan output-output
tertentu (perilaku). Teori pengolahan informasi untuk mengetahui apa yang
terjadi di tengah/ di antara. Bagaimana
otak menggunakan sensi dan persepsi menyatakan kata yang tidak umum dan
kemudian mengenali kata tersebut lagi. Pada bagian besar pengolahan informasi
peneliti menggunakan data pengamatan untuk me-nyimpulkan apa yang terjadi
antara stimulasi dan respon. Beberapa pengolahan informasi telah mengembangkan
model komputasi atau diagram alur yang menganalisis langkah-langkah spesifik
dari individu dalam mengumpulkan, meyimpan, memanggil, dan menggunakan informasi.
Teori pengolahan informasi melihat individu sebagai pemikir
aktif mengenai dunianya, tidak berbicara dalam istilah tentang tahap-tahap
perkembangan karena lebih memandang perkembangan sebagai proses berkelanjutan
dan bertahap. Teori pengolahan informasi
terkait dengan usia akan meningkat dalam hal kecepatan, kompleksitas, dan
efisiensi dari proses mental dan di dalam jumlah dan keberagaman materi yang
bisa disimpan dalam memori (Papalia, 2014: 28).
Sumber:
Papalia, Diane.,
dkk. 2014. Menyelami Perkembangan Manusia.
(Alih bahasa: Fitriana Wuri Herarti). Jakarta: Salemba Humanika
4.
Meaningful
Lerning Teory
Pembelajaran bermakna bertentangan dengan hafalan dan mengacu pada cara
belajar di mana pengetahuan baru untuk memperoleh hubungan dengan pengetahuan
sebelumnya (Ausubel 2000).
Ausubel (1967: 10) memfokuskan pada pembelajaran bermakna, jelas
diartikulasikan dan tepat dibedakan pengalaman sadar yang muncul ketika secara
potensial menimbulkan gejala yang bermakna, simbol, konsep, atau proposisi
terkait dengan yang tergabung dalam struktur kognitif individu tertentu. Menurut David P. Ausubel,
ada dua jenis belajar :
1)
Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar
dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun
sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki sehingga peserta didik tersebut dapat
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar
seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan, yaitu:
·
Materi yang secara potensial bermakna dan
dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan
masa lalu peserta didik.
·
Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna,
faktor motivasi memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik
tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai
keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya.
2)
Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang cocok dengan fenomena baru itu
belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal.
Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam
dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui
sebelumnya.
Dua Dimensi Belajar
Bermakna Menurut Ausubel
Menurut
Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan kepada
peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua
menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi pada struktur
kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan
informasi baru tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah
belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik meng-hubungkan atau
mengaitkan informasi baru tersebut dengan struktur kognitifnya maka yang
terjadi adalah belajar bermakna.
Empat Tipe Belajar Menurut
Ausubel
1)
Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta
didik. Peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru dengan
struktur kognitif yang dimiliki.
2)
Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta
didik, kemudian ia menghafalnya.
3)
Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta
didik dalam bentuk final atau akhir, peserta didik kemudian menghubungkan
pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki.
4)
Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam
bentuk final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang
disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.
Sumber:
www://fpmipa. Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesi. Learning
Theories. File pdf
5.
Development
Approach
1)
Teori
Piaget
Jean Piaget percaya bahwa anak-anak dalam mengembangkan kognisi dan
pengetahuan dengan terus berkembang melalui serangkaian tahap perkembangan.
Piaget membuat hipotesis bahwa setiap tahapan terjadi secara berurutan, dan bahwa
tidak ada tahapan yang bisa terlewatkan. Untuk berpindah dari satu tahap ke
tahap berikutnya, anak-anak melalui penggunaan asimilasi, akomodasi, serta equilibrium,
mendapatkan dan membangun schemata yang ditransfer ke tahap berikutnya dan
dibangun lebih lanjut dengan cara konstruktivis. Piaget percaya bahwa
pengetahuan benar-benar terdiri dari skema dan struktur kognitif. Dua bentuk
utama dari pengetahuan bahwa Piaget sangat khawatir dengan pengetahuan operatif
dan figuratif. Pengetahuan Operatif terdiri dari pengetahuan tentang bagaimana
hal akan berubah, misalnya visual. Sementara pengetahuan figuratif terdiri dari
hal-hal yang tidak berubah, misalnya stimulus sensorik.
Proses belajar menurut Piaget terdiri dari tahap-tahap asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi. Berikut adalah penjelasannya:
·
Asimilasi: Menggabungkan struktur logis baru
(atau skema) ke skema yang sudah ada bahwa kemudian berlaku pada dunia di
sekitar kita.
·
Akomodasi: Memodifikasi struktur logis atau
skema untuk kesepakatan yang lebih baik dengan lingkungan.
·
Equalibriation: Keseimbangan antara struktur
kognitif asimilasi dan akomodasi dalam mencapai pengetahuan.
·
Egosentrisme: Kegagalan untuk memahami bagaimana
titik sudut pandang orang lain yang mungkin akan berbeda dari mereka sendiri.
Penelitian Piaget menunjukkan fakta
bahwa egosentrisme adalah yang paling menonjol sebelum usia enam atau tujuh
tahun. Namun, kemudian penelitian Piaget maupun dari peneliti lain, memiliki
hipotesis bahwa egosentrisme dapat timbul pada setiap tahap perkembangan,
tetapi dalam bentuk yang baru dan berbeda.
Teori Piaget berpusat pada empat tahap perkembangan yang terjadi pada
anak-anak, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap
Sensorimotor
·
Kecerdasan ini ditunjukkan melalui aktivitas
motorik tanpa menggunakan simbol-simbol.
·
Pengetahuan tentang dunia terbatas karena didasarkan
pada interaksi fisik atau pengalaman.
·
Anak-anak mendapatkan objek permanen sekitar 7
bulan.
·
Perkembangan fisik (mobilitas) memungkinkan anak
untuk mulai mengembangkan kemampuan intelektual baru.
·
Beberapa simbol kemampuan bahasa yang
dikembangkan pada akhir tahap ini.
2.
Tahap Pra-Operasional
·
Kecerdasan ditunjukkan melalui penggunaan
simbol-simbol, penggunaan bahasa yang matang, serta ingatan dan imajinasi yang
dikembangkan.
·
Berpikir dilakukan secara logis, dengan cara
non-reversibel
·
Dominan Berpikir egosentris
3.
Tahap Operasional Konkret
·
Kecerdasan ini ditunjukkan melalui manipulasi
logis dan sistematis terhadap
simbol yang berkaitan dengan benda-benda konkrit.
·
Pemikiran operasional berkembang (tindakan
mental yang bersifat reversibel).
·
Pemikiran egosentris berkurang.
4.
Tahap Operasional Formal
·
Kecerdasan ini ditunjukkan melalui manipulasi
logis dari simbol yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.
·
Pada awal periode ini kembali kepada pemikiran
egosentris.
·
Banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap
ini.
1)
Vygotsky,
ZPD - Dari Piaget, Perspektif Perkembangan Kesiapan
Vygotsky's
Zone of Proximal Development--From a Piagtian Developmental Readiness
Vygotsky, Zone of
Proximal Development (ZPD), hanya menempatkan daerah antara apa yang
seseorang dapat mencapai perkembangan dalam hal pemecahan masalah pada titik
tertentu, dan apa yang mereka berpotensi dapat dicapai melalui pemecahan
masalah dengan bantuan seseorang yang lebih mampu (perkembangan berkelanjutan).
Bagi
Piaget, ZPD ini mirip dengan berpindah satu dari empat tahap tentang
perkembangan selanjutnya. Tahapan bagi Piaget akan berkembang (yang sedang
berlangsung) terkait dengan setiap tahapan, dari dimulainya kesimpulan. Piaget
juga membuat hipotesis bahwa manusia menggunakan struktur kognitif untuk
mencapai dan mengembangkan pengetahuan. Struktur kognitif adalah bagaimana kita
menghadapi dan menginterpretasi dunia untuk memperoleh pengetahuan. Bentuk yang
paling penting dari pengetahuan bagi Piaget akan menjadi pengetahuan operatif,
yang berkaitan dengan mengetahui tentang perubahan. (Campbell, 2006).
Oleh
karena itu, untuk Piaget, mencapai pengetahuan operatif ini mirip dengan orang
yang berada dalam ZPD tersebut. Dia melihat struktur kognitif sebagai organis
dan dinamis, seperti ZPD Vygotsky, di mana pelajar terus maju dalam perolehan
keterampilan pemecahan masalah, dan akibat dari perkembangan (Campbell, 2006).
ZPD
bergantung pada perintah, model, petunjuk, pertanyaan terkemuka, dll untuk
membantu pelajar mengalami kemajuan perkembangan. Piaget berpendapat bahwa ini
adalah identik dengan konsepnya yaitu akomodasi dan asimilasi, keduanya
merupakan cara untuk memasukkan pengetahuan ke dalam struktur kognitif.
Oleh
karena itu Piaget akan melihat ZPD sebagai prinsip perkembangan, karena kedua
konsep mengandalkan pada membangun pengetahuan, meskipun melalui mekanisme yang
berbeda (asimilasi dan akomodasi vs perintah, dll).
Namun,
Piaget tidak setuju dengan Vygotsky tentang pengaruh budaya terhadap ZPD.
Sebagai tahapan teori bukan faktor dalam aspek budaya pada perkembangan, Piaget
akan menunjukkan bahwa teorinya bersifat universal, dan bukan mengarah pada
pengaruh budaya tertentu.
Sumber:
6.
Social
Formation Theory
Teori Aktivitas adalah suatu gagasan yang pertama kali dikembangkan pada
tahun 1920-an. Saat itu terdapat dua asumsi dasar yang ditetapkan menjadi
gagasan yaitu: (1) pengetahuan diperantarai melalui penggunaan alat-alat dan
artefak. (2) aktivitas merupakan unit dasar analisis.
Teori Aktivitas memaparkan bahwa ketika individu terlibat dan
berinteraksi dengan lingkungan, mereka memusatkan perhatian dengan produksi dan
menggunakan alat-alat untuk mendapatkan hasil. Alat ini
"exteriorized" berupa proses mental, yang menjadi lebih mudah diakses
dan dikomunikasikan kepada orang lain. Hasil akhirnya adalah bahwa dasar
interaksi sosial didukung oleh kriteria eksternal. Tokoh teori ini adalah Lev
Vygotsky, Alexander Luria, dan Alexei Nikolaevich Leontiev.
Di tahun 1970-an Yrjo Engeström menjadi tertarik akan Teori Aktivitas dan
bertanggung jawab untuk membuat teori menjadi populer di dunia barat. Engeström
mempresentasikan gagasan bahwa Teori Aktivitas bukanlah proses belajar
individu. Sebaliknya, belajar adalah sistem fungsi aktivitas yang menyesuaikan
dan berkembang sesuai dengan komunitas pelajar, alat-alat dan proses yang
digunakan, dan tantangan yang berkembang ketika bekerja dalam sebuah komunitas
sosial.
Model Teori Aktivitas
Teori Aktivitas mengusulkan model yang berbeda untuk menjelaskan
bagaimana kegiatan dilakukan. Model generasi pertama Vygotsky menjelaskan bahwa
alat-alat yang digunakan untuk memediasi antara subjek dan objek, atau tujuan
dari kegiatan. Aktivitas selesai dalam rangka mencapai hasil yang diinginkan
(Engeström, 1999).
Dalam model generasi kedua Engeström memperluas konsep Teori Aktivitas segitiga
dasar Vygotsky dan menambahkan tingkat di mana komponen sosial diperiksa
tentang bagaimana mereka mempengaruhi aktivitas. Dalam hal ini pengaruh sosial
termasuk masyarakat, aturan, dan pembagian kerja. Model Engeström juga
menggambarkan bagaimana pengaruh sosial baru berhubungan satu sama lain. Garis
menunjukkan bahwa semua elemen tidak langsung memanipulasi satu sama lain dan
hanya hubungan sosial alami membantu kegiatan mencapai tujuan yang diinginkan
(Engeström, 1999). Pada model gambar di bawah ini subjek terkait dengan
pembagian kerja. Tanpa variabel tambahan, masyarakat, subyek tidak mampu
membagi tugas dalam rangka mengarah pada tujuan yang akan dicapai. Selain itu,
aturan tidak akan berlaku untuk individu tanpa membuat masyarakat yakin bahwa
mereka diikuti.
Lima Prinsip Teori Aktivitas
Teori Aktivitas
dapat diringkas melalui lima prinsip berikut (Engeström, 1999):
1.
Kegiatan yang diperantarai melalui manipulasi
artefak dan benda-benda.
2.
Sistem aktivitas terdiri dari komunitas ide dan
tradisi di mana aplikasi membagi tenaga kerja menciptakan posisi yang berbeda
dan semua peserta membawa bersama mereka beberapa lapisan konvensi sejarah,
aturan, dan benda-benda.
3.
Sistem Aktifitas mengembangkan dan
mentransformasi dari waktu ke waktu yang memungkinkan untuk masalah dan potensi
untuk dipahami.
4.
Sistem aktivitas akan tidak diragukan lagi harus
berubah karena kontradiksi karena seperti sistem berkembang objek baru, atau
aturan, dan dapat bertentangan dengan peran tertentu dalam masyarakat.
5.
Sebuah sistem aktivitas rentan terhadap
'transformasi yang luas' di mana sistem yang baik bisa berubah secara radikal
dan dikonseptualisasikan secara ulang.
Pro dan Kontra Teori Aktivitas
Keuntungan dari
Teori Aktivitas untuk mencapai tujuan adalah:
1.
Menekankan motivasi dan alasan bagi seorang
individu atau kelompok.
2.
Sistem ini berguna untuk mengidentifikasi hasil
atau tujuan dari suatu kegiatan.
3.
Melalui berbagi konvensi sejarah para anggota
masyarakat yang terkena alat-alat baru serta sumber daya.
4.
Ada kesempatan untuk belajar dari orang lain
dalam masyarakat.
5.
Memiliki struktur yang dapat membantu kelompok
mencapai tujuan mereka.
Kerugian Teori Aktivitas untuk mencapai
tujuan adalah:
1.
Sistem tidak dapat mengantisipasi kontradiksi
tertentu yang kemungkinan akan membuat aktivitas berkembang ke arah yang
membuat seseorang beradaptasi.
2.
Teori itu sendiri relatif baru dan karena itu
memiliki beberapa ideologi abstrak yang membuat sulit untuk memahami dan
menerapkan sepenuhnya.
3.
Struktur yang kaku dalam melaksanakan suatu
kegiatan dapat mencegah kreativitas.
Sumber:
7.
Representation
and Discovery Learning
Belajar penemuan (Discovery learning) adalah teknik
pembelajaran berbasis penyelidikan dan dianggap sebagai pendekatan berbasis
konstruktivis untuk pendidikan. Hal ini didukung dengan karya ahli teori
belajar dan psikolog Jean Piaget, Jerome Bruner, dan Seymour Papert.
Jerome Bruner
berpendapat bahwa "Praktek dalam menemukan untuk dirinya sendiri
mengajarkan seseorang untuk memperoleh informasi dengan cara membuat informasi menjadi
lebih mudah dalam pemecahan masalah". Filosofi ini kemudian menjadi
gerakan pembelajaran penemuan dengan menunjukkan bahwa seseorang harus belajar
dengan melakukan atau learning by doing.
Belajar penemuan
dapat meliputi berbagai teknik instruksional. Menurut meta-analisis tinjauan
yang dilakukan oleh Alfieri, Brooks, Aldrich, dan Tenenbaum, tugas belajar
penemuan dapat berkisar dari pola deteksi implisit, dengan pendatangan
penjelasan dan bekerja melalui panduan untuk melakukan simulasi. Belajar penemuan
dapat terjadi kapan saja, siswa tidak disediakan dengan jawaban yang tepat
melainkan bahan untuk menemukan jawaban sendiri.
Belajaran
penemuan terjadi dalam situasi memecahkan masalah di mana pelajar mengacu berdasarkan
pengalamannya sendiri dan pengetahuan sebelumnya dan merupakan metode
pengajaran di mana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan
mengeksplorasi dan memanipulasi benda, bergulat dengan pertanyaan dan
pertentangan atau melakukan percobaan.
Jerome Bruner mengenalkan tiga
tahapan representasi kognitif, yaitu:
1.
Tahap Enaktif
Dalam
tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung
terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar
sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan
menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, pada
penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Ia akan
memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.
2.
Tahap Ikonik
Dalam
tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang
dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari
objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek
seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
3.
Tahap simbolik
Dalam
tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-simbul
atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek
seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan
notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini,
pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, yaitu
simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam
bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf,
kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang
abstrak yang lain.
Efek Belajar Penemuan pada Muatan Kognitif
(The effects of Discovery
Learning on the Cognitive Load)
Penelitian telah
dilakukan selama beberapa tahun untuk
membuktikan pengaruh yang tidak menguntungkan tentang Discovery Learning,
khususnya dengan peserta didik yang baru memulai. Teori Muatan kognitif
menunjukkan bahwa eksplorasi bebas dari lingkungan yang sangat kompleks dapat
menghasilkan muatan memori kerja berat yang merugikan belajar. Peserta didik
mulai tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengintegrasikan informasi
baru dengan informasi yang telah mereka pelajari di masa lalu. Sweller
melaporkan bahwa alternatif yang lebih baik ke Discovery Learning adalah Guided
Instruction. Guided Instruction diproduksi kembali lebih cepat dari fakta-fakta
pendekatan tak terbimbing (unguided) seiring dengan mentransfer jangka panjang dan
kemampuan memecahkan masalah.
Peningkatan Belajar Penemuan (Enhanced
Discovery Learning)
Belajar penemuan
meningkatkan proses yang melibatkan dan mempersiapkan pelajar dengan memberikan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Dalam
pendekatan ini, guru tidak hanya memberikan pengetahuan yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas, tetapi juga menyediakan bantuan selama tugas. Persiapan
ini para pelajar dan pendamping mungkin memerlukan beberapa instruksi langsung.
Aspek lain untuk
meningkatkan belajaran penemuan adalah memungkinkan pelajar untuk menghasilkan
ide-ide tentang topik sepanjang perjalanan dan kemudian setelah siswa
menjelaskan pemikiran mereka. Seorang guru yang meminta siswa untuk
menghasilkan strategi mereka sendiri untuk memecahkan masalah dapat diberikan
dengan contoh-contoh bagaimana untuk memecahkan masalah yang sama menjelang
tugas belajar penemuan. "Seorang siswa mungkin akan muncul ke depan
ruangan untuk bekerja melalui masalah pertama, berbagi atau pemikiran dengan
keras. Guru mungkin bertanya siswa dan membantu mereka merumuskan pemikiran
mereka ke dalam pedoman umum untuk memperkirakan.
Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Discovery_learning
8.
Constructivist
Approach
Pendekatan
konstruktivisme adalah sebuah pendekatan yang menekankan bahwa belajar adalah
suatu proses konstruktif aktif. Teori
Konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam
kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi
pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menempatkan
pelajar sebagai pembangun informasi. Pelajar aktif mem-bangun atau membuat
representasi subjektif mereka sendiri tentang realitas objektif, membangun informasi
baru terkait dengan pengetahuan sebelumnya. Tokoh pencetus pendekatan
konstruktivis adalah: Vygotsky, Piaget, Dewey, Bruner, Vico, dan Rorty.
Pendekatan
konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
2.
Dalam konteks
pembelajaran, pelajar seharusnya mampu membina pengetahuan mereka secara
mandiri.
3.
Pentingnya membina
pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi
antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.
Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina
pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah
ada.
5.
Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini
berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten
atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6.
Bahan pengajaran yang
disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat
pelajar.
Prinsip Pendekatan Konstruktivis
Pendekatan
belajar konstruktivis menggunakan dua prinsip utama, yaitu: Pertama,
dalam rangka siswa belajar atau menerima pengetahuan dimana dia harus terlibat
secara aktif dalam membangun pengetahuan. Persepsi, pengalaman, dan refleksi
semuanya penting dalam membentuk pandangan secara keseluruhan. Kedua,
"mengetahui sesuatu" yang datang melalui proses adaptasi. Pengalaman
pelajar terus menambah informasi bahwa dapat mengubah produk akhir. Hubungan
dan interaksi dengan semua yang terlibat sangat membantu untuk merumuskan atau
mensintesis pengetahuan. Pengetahuan ini bukan fenomena statis melainkan adalah
salah satu yang berkembang dan berubah tergantung pada bagaimana pihak yang terlibat
menafsirkan berbagai kegiatan.
Sumber:
http://etec.ctlt.ubc.ca/510wiki/EvaluationConstructivistLearning
9.
Sosial
Approach (Teori Belajar Sosial)
Teori
belajar sosial adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari
pengamatan, penguasaan, dan dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan perilaku
orang lain. Dalam pendekatan ini beranggapan bahwa:
a)
Semua
perilaku terjadi dalam konteks sosial.
b)
Perilaku
seorang individu dipengaruhi oleh orang lain dan masyarakat.
Terdapat beberapa
ahli yang mempopulerkan pendekatan ini, yaitu: Neil Miller, John Dollard,
Albert Bandura, dan Richard Walters.
Neil
Miller dan John Dollard mempopulerkan pendekatan belajar sosial pada tahun
1941, dimana mereka melaporkan hasil percobaan peniruan diantara individu yang
tidak disebabkan oleh insting (unsure biologis). Berdasarkan penelitian ini,
kita mengetahui bahwa meniru perilaku orang lain dikatakan sebagai proses
belajar. Proses belajar ini disebut pembelajaran sosial (social learning).
Kedua ahli ini menunjukkan bahwa seseorang belajar mengikuti perilaku orang lain
karena adanya imbalan yang akan diperoleh pada akhirnya. Selain itu seseorang
dapat meniru perilaku orang lain karena persamaan perilaku yang telah
dilihatnya sebelumnya dari pihak yang berbeda di masa lampau.
Albert Bandura, dan Richard Walters berpendapat
bahwa manusia belajar suatu perilaku melalui proses peniruan. Peniruan ini
dilakukan meski tanpa adanya penguat (reinforcement) yang diberlakukan
terhadapnya. Proses peniruan ini dinamakan observational learning atau belajar
melalui pengamatan.
Penelitian
Bandura yang terkenal adalah observasinya terhadap perilaku anak-anak yang
dapat memiliki kecenderungan berperilaku agresif dengan menonton film tayangan
berbau kekerasan.
Banyak yang
secara salah menyamakan belajar observasional dengan belajar melalui imitasi.
Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa belajar observasional mengarah pada
perubahan perilaku akibat mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa
perilaku yang ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru
melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah
mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini
adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar
observasional tanpa adanya imitasi.
Walau belajar observasional dapat terjadi
dalam setiap tahapan kehidupan, terutama terjadi saat pada anak-anak, karena pada
saat itu otoritas dianggap penting. Penelitian Bandura
mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan
ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap
boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut
pada boneka yang sama. Bagaimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila
perilaku model mendapat penguatan.
10. Technological
Approach
Sistem inovasi
teknologi adalah sebuah konsep yang dikembangkan dalam bidang ilmiah penelitian
inovasi yang berfungsi untuk menjelaskan sifat dan tingkat perubahan teknologi.
Teori yang berhubungan dengan Technological
Approach adalah Differentiated
Instruction, Understanding by Design and Universal Design for Learning.
Dalam teori Differentiated Instruction, Understanding by
Design and Universal Design for
Learning terlihat pada kombinasi yang kuat dari tiga model mengajar-belajar
yang berbeda, yaitu sebagai beikut:
1.
Understanding
by Design (UBD)
Teori ini menjelaskan peningkatan ekspetasi konten di
semua tingkatan kelas serta pengujian standar yang membandingkan tingkat
prestasi sekolah. Mengajar di kelas telah terpengaruh dengan cara yang tidak
sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran. Guru membutuhkan model yang menyumbang
standar tetapi juga menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pemahaman dapat
mengatasi standar konten serta mengembangkan basis informasi yang kuat.
Memahami melalui desain dapat mencoba menyelesaikan tujuan ini.
2.
Differentiated
Instruction (DI)
Teori ini melihat pada bagaimana dan dimana kita
mengajar siswa, berfokus pada praktik-praktik terbaik untuk masing-masing
siswa. selain harapan konten adalah sulitnya memenuhi kebutuhan beragam kelas.
Bahasa, budaya, jenis kelamin, kesenjangan ekonomi, motivasi, cacat, kepentingan pribadi, dan gaya
belajar serta lingkungan rumah hanya beberapa dari banyak variabel yang membawa
siswa ke sekolah. Variabel-variabel ini dapat membuat tidak efektif bahkan
kurikulum terbaik jika kebutuhan beragam kelas tidak terpenuhi. Instruksi
dibedakan dapat menawarkan kerangka desain kurikulum yang dapat mengakomodasi
perbedaan guru ketika di kelas.
3.
Universal
Design for Learning (UDL)
Teori ini menyatakan bahwa pembelajaran berusaha untuk
memastikan bahwa lingkungan belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan
alat-alat belajar mengajar mempromosikan belajar dan menghapus hambatan untuk belajar.
Desain adalah istilah yang diciptakan oleh Ron Mace (1960) diterapkan pada
desain “bebas hambatan” yang akan menguntungkan semua.
B.
Hubungan Berbagai Macam Teori Belajar
atau Alur Pikir Siswa
Kaitan atau hubungan antar teori akan
saya paparkan dalam deskripsi berikut ini:
Behaviorism theory dan social cognitive
theory mempunyai persamaan, bahwa kedua teori ini menjelaskan adanya proses
belajar karena dorongan dari luar. Behaviorism
theory dipengaruhi oleh adanya stimulus dan respons yang saling dipengaruhi
oleh adanya penguatan dan hukuman dalam proses pembelajaran. Sementara social cognitive theory mempunyai
dorongan dari luar yang berasal dari pengaruh sosial dengan mengamati dan
meniru orang lain karena terdapat proses imitasi yang dipengaruhi dari seorang
model yang kompeten. Dalam proses pembelajaran, terpusat pada guru, siswa berpikir
pasif dan ibarat tong kosong dan sebuah kertas putih yang siap menerima
informasi dari guru.
Hubungan yang erat tarjadi antara meaningful learning theory (pembelajaran
bermakna), social formation teori, social
approach, development approach, representation and discovery learning
(belajar melalui penemuan),
constructivistic approach (membangun pengetahuan dengan menyusun konsep), dan technological approach. Semua
teori tersebut menghendaki adanya aktifitas siswa dalam proses belajar. Siswa
belajar dengan mengkonstruk konsep dengan cara menghubungkan antara pengalaman
yang telah diperoleh dengan proses belajar yang sedang berlangsung sehingga menuju
sebuah proses perkembangan. Proses belajar dalam hal ini tidak hanya terbatas
pada ruang kelas saja antara siswa dengan guru, melainkan dapat terjadi di mana
saja, yang dekat dengan lingkungan siswa atau anak sebagai tempat untuk
mengkonstruk pengetahuan yang diperolehnya. Sehingga akan terjadi pembelajaran
yang bermakna karena proses belajar terpusat pada siswa, sedangkan guru
berperan sebagai fasilitator.
C.
Peta Konsep Hubungan Berbagai Macam
Teori Belajar atau Alur Pikir Siswa
Aslm, setelah tahap mengambil referensi akan bagus jika diteruskan kepada tahap refleksi.
BalasHapus