Total Tayangan Halaman

Senin, 30 Maret 2015

Pembelajaran Matematika Pengurangan Bilangan Bulat
Melalui Permainan Tradisional Congklak 
dengan Peningkatan Nilai Kejujuran
dan Berani Mengambil Keputusan pada Siswa SD

Dengan mengambil sisi baik dari proses belajar mengajar di sebuah SD di Jepang melalui VTR (Voice Tape Recorder) pada mata kuliah Pengembangan Learning Trajectory Pendidikan Dasar hari Rabu, 25 Maret 2015, berikut adalah paparan untuk mengembangkan proses belajar mengajar sejenis sesuai dengan konteks budaya lokal (Jawa, Indonesia). Saya mengkaji pada sebuah jurnal pendidikan sebagaimana sumber belajar yang insyaallah dapat dimanfaatkan.

Pengurangan bilangan bulat merupakan salah satu materi yang tergolong sulit bagi sebagian besar siswa di kelas rendah, terutama hasil pengurangan bilangan bulat negatif. Pembelajaran materi pengurangan bilangan bulat, guru tidak menanamkan konsepnya dengan menggunakan model yang nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa. Padahal banyak sekali benda-benda di lingkungan siswa yang dapat digunakan untuk mempelajari pengurangan bilangan bulat. Kenyataan guru hanya menggunakan soal-soal yang ada di dalam buku pegangan siswa dan sangat abstraks sekali. Serta guru sering memulai dengan definisi, sifat-sifat dan diakhiri dengan pemberian contoh-contoh. Akibatnya siswa tidak biasa mengembangkan nalar, komunikasi, serta pemecahan masalah.
Bermain merupakan salah satu ciri anak usia SD yang dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan. Dengan menginteraksikan permainan ke dalam proses pembelajaran, berarti mengkondisikan siswa belajar sambil bermain sehingga siswa menjadi aktif dan senang dalam belajar. Mengingat pentingnya permainan tradisional untuk menunjang proses pembelajaran maka perlu dieksplorasi lebih jauh permainan tradisional di Indonesia dalam menunjang pembelajaran matematika. Jenis permainan tradisional yang dapat dimanfaatkan sebagai konteks dalam belajar bilangan yang memuat pengurangan bilangan bulat adalah permainan tradisional congklak.
Permainan tradisional congklak membantu siswa memahami konsep bilangan, siswa belajar menyusun strategi agar bisa mengisi sebanyak-banyaknya lubang besar miliknya. Siswa memperhitungkan mana jalan yang paling menguntungkan baginya supaya mencapai kemenangan baginya. Saat memilih lubang mana yang akan diambil, siswa belajar mengambil keputusan dan menanggung resiko atas keputusannya. Melalui congklak siswa belajar tentang konsep pengurangan, siswa bukan hanya belajar berhitung tapi siswa mengasah kemampuan logikanya. Saat permainan congklak selesai, siswa akan menentukan menang dan kalah dengan menentukan selisih atau beda biji congklak yang diperolehnya. Dalam menentukan selisih atau beda tersebut, siswa melakukan aktivitas pembelajaran konsep pengurangan.
Pada permainan ini biji congklak yang digunakan sebanyak 42 biji, jadi masing-masing 3 biji congklak untuk setiap lubang congklak kecil, total lubang pada dakon adalah 16 lubang.
Aktivitas pertama: Bermain Congklak

Siswa diminta untuk bermain congklak dengan teman sekelompoknya. Selanjutnya, melalui aktivitas bermain congklak tersebut siswa dapat menemukan konsep selisih, yaitu pada saat bermain mereka menjumpai kejadian menang atau kalah. Siswa dapat menyatakan bahwa kalah adalah kejadian biji congklak yang diperoleh lebih sedikit dari pada biji congklak yang diperoleh lawan main, sedangkan menang adalah kejadian biji congklak yang diperoleh lebih banyak dari pada biji congklak lawan main, yang merupakan representasi pengurangan bilangan bulat. Sehingga guru dapat mengeksplorasi hasil permainan tersebut untuk membimbing siswa menemukan konsep pengurangan bilangan bulat yang hasilnya bilangan bulat negatif. 

Selanjutnya siswa dapat menemukan konsep selisih biji congklak sebagai pengurangan bilangan bulat melalui bimbingan guru seperti pada Gambar 2.


Aktivitas 2: Bermain Kartu Congklak
Siswa diarahkan untuk memahami kelompok-kelompok biji congklak dalam suatu kartu congklak yaitu kartu pertama terdiri satu biji congklak, kartu kedua terdiri dua gambar biji congklak, kartu ketiga terdiri tiga gambar biji congklak, kartu keempat terdiri empat gambar biji congklak, kartu kelima terdiri lima gambar biji congklak, sedangkan kartu keenam terdiri enam gambar biji congklak. Siswa bermain kartu congklak bersama teman sekelompoknya seperti pada Gambar 3.


Pada aktivitas 2 ini, siswa mampu menghitung nilai selisih kartu congklak dengan cara memasangkannya dari masing-masing nilai kartu congklak yang sama. Siswa bermain kartu congklak dalam kelompoknya masing-masing, setelah kartu congklak dikocok maka siswa membagikan kartu congklak tersebut maenjadi dua bagian sama banyak yaitu bagian pertama enam kartu congklak dan bagian kedua enam kartu congklak, lalu semua kartu congklak dibiarkan terbuka supaya setiap siswa dalam kelompok melakukan diskusi untuk melakukan pemasanga nilai kartu congklak yang sama, kemudian pada akhirnya mereka mampu menemukan selisih nilai dari kartu congklak seperti terlihat jawaban siswa pada Gambar 4.


Setelah bermain kartu congklak selesai siswa disuruh mengerjakan latihan secara berkelompok dangan teman sekelompoknya masing-masing. Pertanyaan pada latihan ini yaitu suatu pertanyaan untuk menentukan selisih nilai kartu congklak yang telah siswa mainkan sebelumnya. Konsep selisih sebagai pengurangan yang tepat terlihat ketika siswa memperlihatkan caranya untuk menentukan selisih, yaitu dengan cara pemasangan kartu congklak yang nilainya sama.

Aktivitas 3: Bermain Kartu Bilangan
Pada aktivitas ketiga ini, siswa bermain kartu bilangan yang disertai angka pada setiap kartu bilangan tersebut, yaitu kartu pertama angka 1, kartu kedua angka 2, kartu ketiga angka 3, kartu keempat angka 4, kartu kelima angka 5, dan kartu keenam angka 6. Setelah bermain kartu bilangan selesai, siswa diberikan latihan yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan pada saat bermain kartu bilangan tersebut. Guru membagikan kartu bilangan kepada setiap kelompok. Siswa bermain kartu bilangan dalam kelompoknya seperti pada gambar 5.


Aktivitas ketiga adalah mengekplor kartu congklak dengan kartu bilangan. Tujuannya adalah agar siswa memahami pengurangan bilangan bulat. Siswa tidak lagi menggunakan biji congklak maupun gambarnya, namun mereka menggunakan angka. Setelah permainan kartu bilangan selesai siswa dapat menyatakan bahwa kalah merupakan representasi dari hasil suatu pengurangan bilangan bulat yaitu bilangan bulat negatif. Setelah melalui aktivitas di atas, beberapa siswa sudah memahami konsep pengurangan bilangan bulat yang hasilnya bilangan bulat negatif.


Pada aktivitas 2, siswa bermain kartu congklak untuk menentukan nilai selisih dari dua kelompok kartu congklak. Sedangkan pada aktivitas 3 dengan permainan kartu bilangan yang merupakan proses pengeksploran dari kartu congklak, tujuannya agar siswa dapat menentukan nilai selisih dari dua kelompok angka-angka.

Aktivitas 4: Bermain Dadu Pengurangan
Melalui aktivitas ke empat ini, siswa dapat melatih pemahaman tentang konsep pengurangan bilangan bulat yang hasilnya bilangan bulat negatif melalui permainan dadu pengurangan. Kemudian guru membagikan dadu pengurangan pada masing-masing kelompok untuk dimainkan dengan teman-teman sekelompoknya seperti pada gambar 7.


Selanjutnya setelah siswa selesai bermain dadu pengurangan, guru membagikan soal latihan tentang pengurangan bilangan bulat yang menggunakan simbol pengurangan secara formal. Setelah siswa mendiskusikan semua hasil yang diperoleh, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk presentasi dan diskusi secara klasikal.
Sementara itu, jika dilihat dari implementasi PMRI di dalam desain pembelajaran ini mencerminkan bagaimana karakteristik RME menjadi dasar pada setiap aktivitas yang dirancang untuk siswa dalam proses pembelajaran pengurangan bilangan bulat yang hasilnya merupakan bilangan bulat negatif. Desain aktivitas dalam pembelajaran tersebut diilhami oleh lima karakteristik RME (Realistic mathematical Education).
Karakteristik RME yang pertama adalah use of context, menggunakan konteks yang sudah familiar di lingkungan siswa. Aktivitas ini bertujuan memberikan masalah situasional kepada siswa yaitu melakukan sendiri pengalaman untuk dapat menemukan konsep pengurangan bilangan bulat yang hasilnya bilangan bulat negatif melalui permainan tradisional congklak. Beberapa aktivitas pembelajaran ditempatkan dalam konteks yang konkret dan familiar bagi siswa. Pada aktivitas pertama, pemahaman siswa terhadap konsep selisih yang merupakan representasi dari konsep pengurangan bilangan bulat dapat dirangsang melalui menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam bermain congklak. Selanjutnya menentukan berapa selisih banyak biji congklak kemenangannya atau kekalahannya yang dialami siswa dari hasil bermain congklak bersama teman sekelompoknya
Pada aktivitas kedua, siswa dapat menemukan dan memahami konsep selisih yang merupakan representasi dari konsep pengurangan bilangan bulat melalui aktivitas pada permainan kartu congklak. Selain itu, siswa juga dapat memahami setiap nilai kartu congklak dan melakukan strategi memasangkan nilai kartu congklak yang sama untuk dapat menentukan selisih nilai kartu congklak dengan lawan mainnya.
Pada aktivitas ke tiga, siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep pengurangan bilangan bulat yang hasilnya bilangan bulat negatif melalui bermain kartu bilangan bersama teman sekelompoknya. Melalui aktivitas ini, selain siswa dapat melakukan pengurangan bilangan bulat dengan konsep selisih, siswa juga dapat melakukan pengurangan bilangan bulat dengan konsep berapa yang diperlukan supaya bilangan pertama sama dengan bilangan yang kedua.
Aktivitas ke empat, siswa dapat menyelesaikan soal-soal pengurangan bilangan bulat yang hasilnya bilangan bulat negatif melalui permainan dadu pengurangan. Hal ini ditujukan pada siswa yang sudah mampu bermain dadu pengurangan dengan teman-teman sekelompoknya, lalu menyelesaikan dengan strategi yang mereka kuasai
Karakter RME yang ke dua yaitu using models and symbols for progressive mathematization, model dan simbol ini digunakan untuk menjembatani antara tahap situsional yang bersifat konkret menuju tahap formal matematis yang bersifat abstrak. Keragaman model dan simbol, serta rancangan aktivitas dimaksudkan untuk membawa pemikiran siswa terhadap pengembangan pengetahuan mereka. Konteks yang digunakan dalam pembelajaran konsep pengurangan bilangan bulat yaitu permainan tradisional congklak.
Kegiatan-kegiatan ini dapat menggiring siswa untuk dapat berfikir tentang model mereka sendiri (model of), misalnya menggunakan model permainan kartu congklak. Setelah itu, siswa dibimbing secara perlahan untuk berfikir menggunakan kartu bilangan sebagai model for yang akan digunakan. Seperti yang dikemukakan oleh Gravemeijer (1994), bahwa model of pada situasi tertentu dapat menjadi model for pada pemahaman yang lebih formal.
Karakteristik RME yang ke empat yaitu interactivity. Proses pembelajaran yang dilakukan siswa bukanlah sebuah proses belajar yang dilakukan secara individu, tetapi merupakan proses pembelajaran yang melibatkan individu lain yang saling berhubungan. Dari segala aktivitas yang dilakukan siswa secara individu kemudian secara kelompok kecil dan selanjutnya secara klasikal. Interaksi antar siswa dan guru yang terjadi di kelas membuat diskusi lebih hidup dan bermakna. Peran guru disini hanya sebagai motivator dan fasilitator yang menghubungkan antar siswa sehingga mereka dapat menemukan konsep pengurangan bilangan bulat yang hasilnya bilangan bulat negatif melalui pengalaman dalam aktivitas yang mereka lakukan sendiri serta dapat mengaplikasikannya untuk menyelesaikan soal-soal pengurangan bilangan bulat yang menggunakan simbol pengurangan secara formal.
Karakteristik yang ke lima yaitu intertwinment, pengaitan materi pelajaran dengan mata pelajaran lain akan membuat siswa semakin bersemangat. Dalam hal ini, siswa selain dapat belajar materi pengurangan bilangan bulat melalui penggunakan konteks berupa permainan tradisional congklak, mereka juga belajar jujur dalam bermain congklak dan belajar menggambar.
Kegiatan dari aktivitas 1 sampai 4 berupa dugaan lintasan pembelajaran atau Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang mengalami proses iterasi meliputi pendesainan, revisi, dan evaluasi ulang. Kemudian dilakukan revisi yang selanjutnya disebut sebagai lintasan belajar atau Learning Trajectory (LT) oleh Muslimin, dkk (2012: 110) digambarkan sebagai berikut:



Daftar Pustaka:
Muslimin, dkk. 2012. Desain Pembelajaran Pengurangan Bilangan Bulat Melalui Permainan Tradisional Congklak Berbasis Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di Kelas IV Sekolah Dasar. Jurnal Kreano, ISSN: 2086-2334 Volume 3 Nomor 2 Halaman 100-112 file pdf. Jurusan Matematika FMIPA UNNES.

Review:
Sedikit review saya mengenai proses dan desain pembelajaran pengurangan bilangan bulat melalui permainan tradisional congklak sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah:
1. Mengacu paca pemikiran Jean Piaget (sebagai orang pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar mengajar) yang berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat tahap periode perkembangan yaitu:
1)      Periode sensori motor (0-2) tahun
2)      Periode pra-operasional (2-7) tahun
3)      Periode operasional konkret (7-12) tahun
4)      Periode operasional formal  (lebih dari 12) tahun
Usia anak Sekolah Dasar berada pada periode operasional konkret (7-12) tahun. Periode ini disebut operasional konkret sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Sesuai pembelajaran di atas, siswa SD memanipulasi objek berupa congklak dengan cara dipraktikkan langsung dalam bentuk pemainan. Tujuannya untuk mengenalkan konsep pengurangan bilangan bulat. Operasional konkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-konkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman-pengamanan yang khusus. Pengerjaan-pengerjaaan logika dapat dilakukan dengan berorientasi kepada objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang langsung dialami anak. Anak itu belum memperhitungkan semua kemungkinan dan kemudian mencoba menemukan kemungkinan mana yang akan terjadi. Anak masih terikat kepada pengalaman pribadi dan pengalaman anak masih konkret, belum formal.
2. Konsep pembelajaran pengurangan bilangan bulat melalui permainan tradisional congklak menekankan pembelajaran yang diarahkan pada proses melibatkan siswa belajar dalam bentuk permainan. Hal ini berarti proses pembelajaran dapat membangkitkan dan membuat siswa senang dalam belajar. Siswa tidak akan merasa jenuh dan cepat bosan akibatnya konsep-konsep pengurangan bilangan bulat akan dapat dipahami dengan baik. Oleh karena itu, prinsip pembelajaran yang diterangkan di atas sudah terkait dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). 




Selasa, 17 Maret 2015

Refleksi Perkuliahan 4
                                                                                                            11 Maret 2015

Memaknai Hakikat Pendidikan Untuk Membangun Dunia

Ilmu hakikatnya adalah usaha untuk menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai kenyataan yang terjadi dalam kehidupan. Mengapa manusia diwajibkan menuntut ilmu? Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap manusia, tua-muda; dewasa-anak-anak semuanya diwajibkan untuk menuntut ilmu. Seperti pepatah mengatakan “Celakalah bagi dia orang yang tidak berilmu”. Ini dapat diambil kesimpulan bahwa orang-orang yang tidak menuntut ilmu tergolong orang yang merugi. Manusia dibekali akal dan pikiran, pada hakikatnya untuk dimaksimalkan, dengan cara apa? Dengan cara menuntut ilmu. Bahkan di dalam agama Islam mengatakan bahwa “Alloh SWT menciptakan manusia dalam keadaan vakum dari ilmu, lalu Alloh SWT memberinya perangkat ilmu agar mampu menggali ilmu dan mempelajarinya.” Karena pada dasarnya keberadaan ilmu memang harus digali, dipelajari, direfleksikan, kemudian diaplikasikan.
Orang yang berilmu apabila tidak mau belajar, tidak mau usaha maka diibaratkan sebagai batu, sudah tidak tahu tetapi tetap diam saja, tidak ada kesadaran untuknya merubah dirinya, tidak mau membekali dirinya dengan pengetahuan. Apabila dirinya mengetahui bahwa kurang berilmu maka segeralah untuk menyadarinya. Karena ilmu sesungguhnya bermanfaat untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungannya. Sebenar-benarnya ilmu maka orang tersebut mampu untuk membedakan mana yang benar-salah (etika), mampu membedakan mana yang baik-buruk (estetika). Dengan catatan semua itu harus dilaksanakan dengan ikhlas hati, tidak ada unsur kepaksaan. Jika kita menuntut ilmu dengan ikhlas, maka segala kesombongan yang ada dalam diri kita akan runtuh. Ibaratnya bongkahan-bongkahan batu yang besar, akan pecah berubah menjadi kerikil, menjadi pasir, kemudian akan mengalir menjadi air yang lama kemudian akan berubah menjadi lautan dan bisa mencapai gunungnya ilmu. Begitu juga cara Prof. Marsigit mengajar kami dalam memberikan materi perkuliahannya. Beliau mempunyai cara jadi tidak hanya melulu materi diberikan pada saat perkuliahan tetapi mahasiswa bisa melaksanakan pembelajaran secara mandiri di luar kegiatan perkuliahan dengan cara membaca postingan baik itu terkait dengan pendidikan, maupun hakikat kehidupan. Kemudian setelah membaca, mahasiswa memberikan komentarnya melalui media blog. Dengan cara yang demikian maka mahasiswa telah mulai untuk membangun ilmunya.
Struktur dunia itu terdiri atas ruang dan waktu. Pribadi-pribadi yang sukses dalam menjalani kehidupannya berarti telah mampu untuk menembus ruang dan waktu. Dengan demikian, maka akan mempunyai sifat sopan dan santun. Sopan dan santun terhadap keberadaannya, maupun sopan dan santun terhadap ruang dan waktunya sendiri. Sopan santun terhadap ruang dan waktu itulah metode yang digunakan untuk menghadapi kehidupan yang ada. Jika sudah demikian maka seseorang tersebut telah dapat berhermenitika terhadap kehidupannya. Telah berdamai terhadap kehidupannya artinya selaras antara apa yang seharusnya dengan apa yang telah dilakukannya.  
Begitu juga dengan dunia pendidikan, setinggi-tingginya ilmu mampu membedakan. Seorang guru pun dituntut mampu membedakan keberadaan kondisi siswanya di kelas. misalkan terdapat 40 siswa. Pastinya antara siswa tidak mungkin mempunyai karakter yang sama, pastilah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Lantas bagaimana cara guru menghadapinya? Guru harus mampu mengenal, mengerti, dan memahami semua keberadaan siswanya tersebut, baik itu mengenai sifatnya, cara belajarnya, kebiasan yang dilakukan, sampai pada hal-hal yang disukai maupun tidak disukai siswa. Apabila guru mampu bersikap demikian, maka guru tersebut telah bersikap adil, mampu menembus ruang dan waktunya siswa. Tidak sampai hanya disitu, saat proses pembelajarannya pun seorang guru dalam mentransfer pengetahuannya harus disesuaikan dengan tingkat berpikir siswa. Mengajarkan matematika kepada usia SD bukanlah menitikberatkan pada matematika murni tetapi lakukanlah matematika itu sebagai kegiatan atau aktivitas. Guru yang bertindak demikian maka guru telah memfasilitasi belajar siswa dengan berbagai metode pembelajaran inovatif disesuaikan dengan tingkat berpikir dan kemampuan siswanya. Ini sebenar-benarnya hakikat konsep dari learning trajectory, yaitu tentang cara bagaimana memahami siswa berpikir dan belajar yang kemudian akan berdampak pada Teaching Trajectory, yaitu tentang bagaimana cara guru membelajarkan siswa dalam proses belajar mengajar. jika itu berhasil dilakukan dengan baik, maka telah dikembangkan proses berpikir HOT (High Order Thinking).
Sebagai tambahan, menurut saya dalam memvariasikan metode hendaknya guru memahami terlebih dahulu karakteristik, sintaks, kelebihan serta kekurangannya. Misalkan, perhatikan antara kooperatif dan kolaoratif. Bila diperhatikan dan andai saya disuruh memilih maka akan lebih mengambangkan metode kolaboratif. Perlu diingat bahwa antara metode kooperatif dan kolaboratif hakikatnya berbeda. Metode kooperatif pelaksanaan dan akibatnya pada proses pendidikan belajar siswa adalah adanya suatu kompetisi antara kelompok satu dengan lainnya, antara kelompok satu dengan lainnya. ini sudah tertanam pada diri siswa bahwa segala sesuatu itu berhak untuk dikompetisikan, harus bersaing. Memang perlu, tetapi kita perlu teliti di sini. Nantinya akan muncul suatu pribadi atau kelompok yang iri hati, cemburu atas keberhasilan lawannya. Memang tidak semuanya demikian, ada beberapa siswa yang mungkin akan termotivasi tapi ini bukan yang mendominasi, anak kecil masih belum mampu membedakan yang demikian. Bandingkan dengan pembelajaran kolaboratif. Kolaboratif lebih menitikberatkan pada sistem berkelompok. Dalam berkelompok maka akan memunculkan rasa kebersamaan, kekompakkan, dan rasa saling mengahargai.

  • Konsep Membangun Dunia

Manusia pada dasarnya di dunia ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai itu, maka perlu diarahkan pada proses yang mengarah pada kebaikan itu sendiri. Pembentukan manusia itu melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang dirinya dengan cara silaturahmi kehidupan antar sesama dan melalui agama (hubungan manusia dengan Tuhan).
Konsep kehidupan tidak terlepas dari filsafat, yaitu filsafat ilmu. Filsafat ilmu memberikan patokan kehidupan ke arah yang lebih bijaksana dan kritis. Filsafat akan menjadikan manusia untuk berpikir dan berefleksi secara mendalam untuk menemukan makna kehidupan dunia itu sendiri. Oleh karena itu dalam mengarungi kehidupan maka manusia haruslah senantiasa berusaha, berdoa, dan berikhtiar untuk dapat mencapai apa yang diinginkannya.

Ketika mempelajari filsafat maka mempelajari tentang semua yang ada. Semua yang ada bersifat tetap dan berubah, baik itu yang berada di atas maupun bawah akan saling berhermenitika untuk membangun hidup, terdapat proses saling menerjemahkan dan diterjemahkan. Contohnya: antara pikiran dan tindakan akan saling berinteraksi.

Penggunaan metode belajar yang digunakan guru sesuai dengan kodratnya, haruslah mampu untuk berinteraksi atau berkomunikasi dengan siswa, orang tua, serta lingkungannya. Itu yang dinamakan konsep membangun hidup dengan berhermenitika agar siswa mampu menembus ruang dan waktunya. 
Dalam membangun hidup selain adanya interaksi antara hati dan pikiran maka diperlukan juga dasar agamanya atau spiritualisme. Namun ketika sesuatunya harus berdasarkan agama ini sangat ditentang keras oleh Auguste Comte sorang penganut paham positivisme. Ketika kita melihat terhadap kondisi bangsa Indonesia maka sesungguhnya Indonesia sekarang ini sedang berada antara kehidupan pos modern dimana agama berada pada tingkatan terbawah. Seseorang yang percaya agama dianggap tidak sesuai dengan kehidupan kapitalisme sehingga melahirkan kemunafikan, anomaly, kontradiksi, serta tidak konsisten. Kontradiksi ini yang menjadikan ciri kehidupan di dunia yang sifatnya plural. Jika tidak ada kontrasiksi maka tidak akan hidup. jika semua manusia di muka bumi ini sama karakternya, maka manusia menjadi tidak mampu membedakan. Dunia akan mengalami kehancuran jika manusia sudah mengalami komplikasi, yaitu di dalam diri manusia sendiri mengalami kontradiksi dalam kontradiksi. 


                                                  Gambar: Skema Membangun Dunia

Refleksi Perkuliahan 3
4 Maret 2015

Menghilangkan Spiritualitas Sama Dengan Menjemput Disorientasi Bangsa Serta Mundurnya Kualitas Pendidikan

Perkuliahan “Pengembangan Learning Trajectory” pada kali ini dimulai dengan tes jawab singkat yang dibacakan secara dikte sejumlah 50 soal. Menurut beliau tingkatan seseorang mengikuti perkuliahan jenjang S2 salah satu hakikatnya menekankan pada keterampilan proses berpikir ilmiah, jadi tujuannya mengembangkan keterampilan dalam proses berpikir baik itu mengenai apa yang menjadi bahan materi perkuliahan, diskusi masalah-masalah sosial, realita pendidikan, maupun isu-isu yang terjadi di masyarakat. 

Dengan adanya tes jawab singkat, Prof. Marsigit ingin mengetahui kemampuan mahasiswanya mengenai definisi ilmu berdasarkan porsi bagiannya masing-masing. Jawaban yang diterima oleh masing-masing mahasiswa dapat diasumsikan bahwa apakah mahasiswa selama mengikuti perkuliahan terukur paham atau tidaknya, dan diantaranya mengetahui frekuensi untuk membaca berbagai postingan di blog. Berikut ini saya paparkan definisi suatu ilmu. 



























Apa yang dapat saya tangkap dari tes jawab singkat tersebut adalah kita harus mengetahui dan memahami definisi masing-masing ilmu. Keberadaan ilmu itu sangat luas dan beragam, karena mata kuliah ini berkaitan dengan pendidikan maka tidak lantas hanya memahami definisi dari ilmu pendidikan saja melainkan masih banyak ilmu-ilmu lain yang setidaknya harus dimengerti dan dipahami hakikatnya.
Berkaitan dengan esensi dari mata kuliah “Pengembangan Learning Trajectori” mengenai cara seorang pendidik dapat membelajarkan siswanya, bahwa seorang pendidik harus mengetahui cara berpikir siswa ketika mentransfer pengetahuannya, alangkah baiknya seorang guru dalam mempelajari sesuatu harus cerdas dahulu baik substansinya maupun hal lainnya. Hal itu digunakan sebagai dasar dalam memaknai sesuatu. Sebagai dasar dalam cara membelajarkan siswanya. Tidak mungkin seorang guru tanpa paham dulu cara berpikir siswa, di dalam membelajarkan menggunakan bahasa formalnya guru. Kemampuan siswa untuk memahami  itu tidak akan sampai, karena idealnya siswa belajar menggunakan kemampuan berpikir sintetik aposteriori. Diambil suatu pemisalan seorang guru menjelaskan matematika kepada siswa SD sama dengan ketika guru menjelaskan matematika untuk tingkatan SMA atau perkuliahan itu namanya matematika murni, atau matematikanya orang dewasa. Hasilnya adalah siswa SD yang diajarkan guru dengan cara demikian akan bingung, tidak akan paham, siswa tidak menangkap dengan jelas apa yang dimaksudkan guru. Hal ini mengapa? Jawabannya adalah saat berada pada tingakatan usia SD sesungguhnya berada pada tingkatan operasional konkret yang cara belajarnya masing belum bisa berpikir abstrak, masih belajar menggunakan hal-hal yang konkret. Siswa bisa belajar apabila siswa melihat langsung, memegang benda atau objek langsung, atau keterkaitan indra penglihatan, pendengaran dan indra peraba masih mendominasi. Ini yang dinamakan tingkatan SD belajar matematika menggunakan kemampuan berpikir sintetik apriori, ini sangat cocok ketika diajarkan untuk siswa SD. Jadi seorang guru yang pertama adalah harus bisa membedakan mana yang disebut matematika murni, matematika dewasa, atau matematika analitik, dan mana yang disebut matematika sintetik atau “matematika untuk anak kecil”. Analitik adalah ilmu yang kebenarannya berdasarkan ketentuan. Pemahaman siswa untuk mengikuti cara berpikir yang seperti itu tidak akan dapat untuk memahaminya, karena cenderung pada hasilnya saja tanpa mengetahui prosesnya. Sedangkan, sintetik adalah ilmu yang kebenarannya berdasarkan sebabnya atau sebab-akibat, karena setiap unsur ada sebab dan ada akibat, karena terdapat benda atau alat peraga yang dapat dimanipulasi saat pelaksanaan pembelajaran maka akan berakibat atau berkontribusi pada pemahaman siswa. Berpikir aposteriori, adalah memahami ilmu bahwa kebenarannya mengikuti peristiwa. Disinilah hakikatnya dan ketepatannya anak usia SD saat ia belajar. Apabila itu sudah dipahami dengan baik, maka selanjutnya terutama pada tingkatan kelas tinggi guru akan mengarahkan pada proses berpikir formal atau abstrak, menuju pada tahapan analitik apriori. Analitik adalah ilmu dimana kebenarannya berdasarkan pada ketentuan, sedangkan apriori adalah ilmu yang kebenarannya mendahului peristiwa. Tetapi dalam menuju pada proses tersebut, tidaklah mudah, diperlukan proses dan kerjasama antara guru dan siswa itu sendiri.
Tetapi pemikiran itu disanggah atau ditengahi oleh Immanuel Kant, seorang filsuf dari aliran kritisisme bahwasannya untuk menjadi ilmu pengetahuan diperlukan pengalaman dan logika. Pengalaman diambil dari sintetik, dan logika diambil dari apriori. Sebaik-baik ilmu adalah gabungan antara sintetik dengan apriori. Aliran kritisisme menekankan bahwa untuk mendapatkan pengatahuan tidak semata-mata diperoleh dari akal atau rasio saja, tida semata-mata diperoleh berdasarkan pengalamannya saja melainkan menggabungkan antara keduanya. Bahwa ilmu pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pemerolehan akal/ rasio dan pengalamannya. Maka sebenar-benarnya ilmu itu besifat sintetik apriori.

    Keberadaan Ilmu

        Dalam filsafat ilmu, terdapat ilmu yang ada dan ilmu yang mungkin ada. Ilmu yang ada bersifat tetap sedangkan ilmu yang mungkin ada bersifat berubah. Sebenar-benarnya ilmu yang tetap dan tidak berubah sesungguhnya berdasarkan firman Tuhan.


      Fenomena Comte

Bila kita telisik kondisi pendidikan Indonesia sedang mengalami krisis, sedang mengalami kebingungan. Sampai sekarang masih belum terdapat satu sistem kependidikan yang mampu menjelaskan keterkaitan yang diturunkan langsung dari landasan dan falsafah negara pancasila beserta UUD 1945. Dipengaruhi juga oleh keberadaan pesatnya suatu teknologi sehingga dampak globalisasi semakin terasa di komunitas masyarakat Indonesia. Belum lagi muncul adanya fenomena Auguste Comte, yang terkenal berupa tiga tahapan sejarah umat manusia yang menjadi landasan penting aliran positivisme. Terutama pada tahapan ketiga yang berupa tahapan ilmiah dimana ketika manusia sudah bisa menaklukan alam dengan kemampuan ilmiahnya, maka sudah tidak lagi membutuhkan campur tangan Tuhan.
Pemikiran Auguste Comte muncul pada 200 tahun lalu bahwasannya ia menolak filsafat. Comte menyebutkan bahwa apabila suatu bangsa ingin maju bahwasannya diantaranya menggunakan metode scientific yang sekarang ini sudah mulai diimplementasikan dalam kurikulum 2013. Tetapi akibatya dalam metode ini tidak mengintegrasikan/ menggunakan agama dikarenakan agama menurutnya sangat tidak logis khususnya pada pemikiran hasil temuan-temuan ilmiah.
Kondisi yang demikian dirasa tidak pantas, dan akan menjadikan negara Indonesia tidak mempunyai dasar. Indonesia berlandaskan pancasila yang dalam proses berpikirnya dari tingkat material, formal, normatif, dan tingkatan yang paling tinggi adalah sipiritual. Pengembangan metode scientific ditambah kemajuan teknologi maka lama kemudian dapat menguasai dunia sehingga tanpa disadari lahirlah Dajal. Dajal dalam filsafat disebut sebagai sistem yang tidak dikehendaki. Tetapi kondisinya sekarang, karena teralu berkiblat pada dunia barat maka tingkatan spiritualisme itu berada pada tingkatan yang paling bawah. Masyarakat terlalu meninggikan ilmu-ilmu pengetahuan, tidak memikirkan agama sebagai aspek spiritualnya padahal semua kehidupan tanpa sentuhan agama itu fatal. Situasi yang seperti ini yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami disorientasi. Alangkah baiknya bila agama itu selalu dikaitkan dengan kehidupan apapun. Agama hendaknya selalu menjadi dasarnya kehidupan.  

Terkait dengan pendidikan terutama pelaksanaan kurikulum 2013, maka harus diperbaiki atau dikoreksi penggunaan pendekatan scientific.

“Pendekatan scientific atau sains yang digunakan utuk semua mata pelajaran, dilihat dari sudut filsafat dan psikologis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Secara ontologis, terdapat hanya dua macam ilmu saja yaitu geistesweisensaften (ilmu humaniora) dan natureweistensaften (ilmu-ilmu kealaman). Pendekatan sain hanya cocok untuk natureweistesaften, sedangkan untuk geistesaften yang cocok adalah hermeneutika atau metode hidup. Jadi dalam hal pendekatan ini, Kurikulum 2013 telah melanggar atau melabrak atau melahap secara rakus untuk mengalahkan dan mendominasi ilmu humaniora seperti Agama, Bahasa, Seni dll. Jika hal ini terus dipaksakan maka akan mengalami banyak kendala ontologis dalam pelaksanaannya dan dengan demikian tidak akan memberi solusi bagi mempersiapkan generasi bangsa yang tangguh, tetapi malah menambah daftar carut marut pendidikan Indonesia yang memang tidak dan belum pernah mengalami keadaan sehat sejak lahirnya republik ini.”
Dikutip dari Makalah yang berjudul Tantangan dan Harapan Kurikulum 2013 Bagi Pendidikan Matematika, oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.
 
Menanggapi hal di atas, maka penggunaan metode scientific sebaiknya tidak diterapkan pada semua mata pelajaran, tetapi hanya mata pelajaran tertentu yaitu mengenai ilmu-ilmu kealaman.

Implikasi mengintegrasikan antara kehidupan agama dengan praktik kehidupan sehari-hari misalnya dalam dunia sekolah untuk mengawali dan mengakhiri pembelajaran maka dibiasakan dengan berdoa sesuai ajaran dan keyakinannya. Karena doa berkaitan dengan keyakinan beragama dalam menjalani hidup. Metode yang seharusnya dalam mencari bekal hidup tidak hanya dengan pikiran tetapi dengan hati dan juga keyakinan. Ilmu bisa menuju ke hati dan juga pikiran, serta terangnya hati dikarenakan keberadaan ilmu juga.

Awal Nur Kholifatur Rosyidah
14712251021
Pendidikan Dasar
Konsentrasi Praktisi (Guru Kelas)



Selasa, 03 Maret 2015

Kunjungan Study Lab - Green School

Ini dia SD pertama yang berhasil dikunjungi oleh mahasiswa Pendidikan Dasar kelas A dalam rangka kegiatan study laboratorium, Senin, 23 Februari 2015 yaitu Green School yang berada di Desa Njambon Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sesuai namanya konsep SD ini memang bernuansa lingkungan. Di kala SD modern tumbuh menjamur di pinggiran kota dengan bangunan bertingkatnya, SD ini justru berbeda. Berada dekat dengan sawah, banyak tanaman, pepohonan, diujung kiri kolam, bahkan dekat dengan sungai kecil loh, gemricik air sempat terdengar. Semuanya menambah keasrian dan kenyamanan sekolah ini. Untuk tahun ini adalah tahun ke-3 Green School berjalan. Jadi sampai sekarang baru terdapat level 1, 2, dan 3. 


lihat tempat belajarnya cukup unik loh. Mereka belajar setiap hari bersama gurunya bukan di ruangan kelas. Green School tidak punya ruang kelas seperti sekolahan pada umumnya. lantas, dimana mereka belajar?
nahh, ini dia. Para siswa Green School belajar di sawung yang terbuat dari bambu. Sawung ini cukup luas untuk dijadikan sebagai tempat belajar. Indah yaa? Semakin mendekatkan anak pada alam.




Refleksi Perkuliahan 2

“Perlunya Pengetahuan Intuitif dalam Pendidikan
                                                                                      Rabu, 18 Februari 2015

Kali ini merupakan kali kedua mahasiswa praktisi mengikuti perkuliahan dengan Prof. Marsigit di ruang 200B Gedung Pasca lama dengan peserta 8 mahasiswa putri dan 1 mahasiswa putra. Adapun yang saya catat, pada pertemuan ini membahas antara lain:
1.    Refleksi perkuliahan pada pertemuan sebelumnya
2.    Cerita kehidupan (Hermenitika)
3.    Pengetahuan intuitif
Pertemuan diawali dengan berdoa. Selanjutnya, beliau memaparkan tentang bagaimana hakikat tentang kehidupan. Kehidupan (Hermenitika) diperoleh dari bahasa Yunani, yaitu berasal dari salah satu nama Dewa yaitu Dewa Hermen. Dewa Hermen menjadi salah satunya dewa yang bisa mendengar bisikan Tuhan. 
Di dalam proses kehidupan terdapat unsur-unsur, yang dinyatakan dengan bentuk garis diantaranya melingkar (cycle), garis lurus (linear), dan spiral. Tampak seperti apa yang digambarkan Profesor pada gambar di bawah ini:


·    Melingkar (Cycle): misalkan sekarang hari Rabu, selanjutnya Rabu depan akan dipertemukan kembali. Sekarang bulan Februari, maka tahun depan akan menemui bulan Februari lagi. Tanpa fenomena cycle maka tidak ada kehidupan karena akan dipertemukan lagi dengan kejadian-kejadian sebelumnya.
·   Garis lurus (Linear): misalkan tanggal 18 Februari 2015 itu terjadi hanya sekali, tidak bisa diulangi. Begitu juga dengan proses kehidupan yang akan terus berjalan tanpa bisa bertemu lagi dengan yang sebelumnya.
·   Spiral: proses kehidupan yang biasanya ada di bawah dan di atas. Hidup itu idealnya silaturahmi, harus mengenal satu sama lain.  
Jadi, hermenitika merupakan proses menginteraksikan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dirasakan. Proses menerjemahkan dan diterjemahkan. Secara orang islam, hermenitika itu adalah silaturami. Dalam kehidupan terdapat proses silaturahmi, tanpa ada silaturahmi maka tidak ada kehidupan. Oleh karena itu idealnya kita sebagai manusia harus bersilaturahmi terhadap sesama, tujuannya untuk membangun hidup.
Membangun hidup untuk memperoleh ilmu dengan cara yang kreatif. Dalam proses membangun hidup, tujuannya adalah untuk memperoleh:
1.    Pengetahuan
Pengetahuan akan melahirkan nurani.
2.    Kasih sayang
3.    Intuitif
Intuitif tidak terdefinisi maksudnya tidak dapat diwakilkan dengan satu atau dua kata, dasarnya adalah pengalaman.

Dalam proses belajar apabila anak sudah kehilangan intuisinya, maka anak akan kehilangan nuraninya. Apabila nuraninya hilang maka tidak ada rasa welas asih, tidak ada empati. Itu adalah semacam krisis yang masih dialami sampai sekarang. Apabila kita kaitkan dengan pendidikan Indonesia maka guru sebagai fasilitator seyogyanya ketika mengajar menjadikan pengalaman sebagai landasan atau dasar bukan justru mengajar berlandaskan pada definisi. Hal ini yang masih perlu dengan segera untuk direvisi total.
Misalkan saja kita ambil contoh adalah pembelajaran matematika di SD.
Seorang guru SD mengajarkan matematika mengenai penjumlahan.
Contoh, seperti di bawah ini:




                                                   
Kondisi di lapangan sekarang, masih banyak guru yang mengajarkan penjumlahan, langsung dengan simbol bilangannya (dengan cara atas) matematika formal, ini yang dinamakan keliru. Karena guru tidak mengenalkan konsep kepada anak. Anak usia SD (7-12 tahun) menurut teori Piaget sesungguhnya masih berada pada tahap operasional kongkret. Sebab berpikir logikanya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Operasional kongkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empiric-kongkret yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman-pengalaman yang khusus. Oleh karena itu guru sebaiknya mengajarkannya bermula dari (cara yang di bawah) dinamakan matematika kognitif. Cara yang seperti ini dinamakan menerapkan pengetahuan intuitif berdasarkan pengalaman, yang nantinya akan melahirkan pemahaman yang baik pada siswa.

Perlu dicatat oleh guru-guru di Indonesia, bahkan kita sebagai calon guru, calon pendidik yang berkualitas nantinya jadikanlah matematika itu sebagai kegiatan. Idealnya dalam proses membelajarkan matematika di kelas seorang guru harus bijaksana, harus mengajarkan berdasarkan pengalaman. Bukan mencontoh pada saat sekarang ini, yang kebanyakan guru mengajarkan matematika itu berlandaskan pada definisi sehingga siswa tidak berkembang intuisinya. Dengan kata lain siswa menjadi tidak berkembang pemahamannya. Karena pada dasarnya konsep belajar adalah membangun hidup, membangun kasih sayang, membangun pengertian, membangun kebersamaan, membangun tanggung jawab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa belajar hakikatnya adalah MEMBANGUN. Berikan kesempatan kepada anak untuk aktif mengeksplore pengetahuannya, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator.  

Perkuliahan yang sangat menginspirasi sekali. Bertambah lagi pengetahuan saya akan hakikat belajar dan pembelajaran yang sesungguhnya.


Refleksi Perkuliahan 1

“Sembari Tertawa Sembari Belajar”
Rabu, 11 Februari 2015

Perkuliahan pertama “Pengembangan Learning Trajectory Pendidikan Dasar” yang dilaksanakan di Ruang 200 B Gedung Pasca Lama dengan dosen Prof. Marsigit cukup mengesankan, memberi kesan tersendiri bagi saya. Pasalnya hari itu kami mahasiswa praktisi PPS UNY yang berjumlah 9 orang, kali pertama bertatap mukan dengan beliau. Awalnya saya cukup bertanya-tanya dan menebak dalam hati:
“ehm, Bapaknya kayak apa ya, baik ga ya, galak ga ya?”
“Cara mengajarnya kayak apa ya?”
Perasaan yang saya rasa cukup umum untuk mahasiswa pada pertama kuliah, karena hari itu, merupakan minggu pertama perkuliahan di awal semester genap ini.
Well, tepat jam 7 Bapak dosen pun datang.
Ada yang berbeda perkuliahan kali ini dengan biasanya. Mungkin karena jumlah mahasiswanya yang special, maka Prof. Marsigit berinisiatif untuk memvariasikan model tempat duduk dengan bentuk melingkar. Menurut kami, ini sangat mengapresiasi sekali karena mendapatkan kesan tidak ada jarak antara dosen dengan mahasiswa.


Posisi duduk model melingkar

“Tak kenal maka tak sayang” untuk mendekatkan kami semua maka dilanjutkan dengan perkenalan dari pihak mahasiswa satu persatu, kemudian diteruskan oleh Prof. Marsigit sendiri. Ada satu perasaan senang, setelah beliau memaparkan bahwa beliau berasal dari Kebumen, sebuah kota kecil di sebelah baratnya Jogja (baratnya Kulon Progo, baratnya Wates, barat-baratnya lagi). Nah, karena beliau berasal dari Kebumen dan mahasiswa praktisi sebagian banyak itu berasal dari “luar Jogja” itu tadi baratnya kota Jogja yaitu Banyumas, Banjarnegara, Purworejo atau daerah kulon. Maka lebih banyak bahkan mungkin pertemuan pertama kemarin beliau menggunakan bahasa ngapak yaitu bahasa kesehariannya masyarakat kulon.
Setelah perkenalan, kemudian Prof. Marsigit mulai menjelaskan tentang deskripsi mata kuliah yaitu seputar Pengembangan Learning Trajectory.

Learning Ttrajectory menjelaskan tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana cara siswa berpikir, dan bagaimana seorang guru dapat menyelenggarakan Proses Belajar Mengajar (PBM) (Teaching Trajectory). Ketika seseorang belajar maka ia akan berusaha, ia akan mengerahkan kemampuannya untuk bisa memahami tentang apa yang ia lihat, tentang apa yang ia rasakan. Sehingga setelah belajar diharapkan ada suatu kompetensi atau kecerdasan yang muncul kemudian terbentuk pada siswa itu sendiri. Kecerdasan muncul tentunya disebabkan oleh faktor-faktor penentu cerdas yang lain. Unsur cerdas (kompetensi), merupakan hal yang paling umum dapat dimulai dari sikap, keterampilan, dan ditunjang oleh pengetahuan (ilmu), sikap, niat, dan pengalaman.
Saat pertemuan perkuliahan, Prof. Marsigit tidak hanya menjelaskan tentang materi tetapi juga banyak bercerita tentang makna dari sebuah kehidupan.
Apabila seseorang ingin terampil dalam menekuni suatu hal maka dasarilah semuanya itu dengan NIAT. Kenapa niat? Ya, semua kegiatan harus dilandasi dengan niat. Begitu juga apabila kita ingin sukses dalam pekerjaan, maka kunci pertama adalah niat. Kemudian laksanakan/ aplikasikan dan tekunilah.  
Apabila ingin menjadi guru harus dilandasi dengan niat dahulu, harus mulai menyenangi dunia anak kecil, kemudian latihan untuk menyenangi, mempelajari aspek-aspek lainnya. Tidak hanya mampu atau menguasai materinya saja, tetapi perlu juga untuk memikirkan semua aspek di dalamnya. misal faktor perkembangan peserta didik, sumber belajar, media pembelajaran, model dan strategi pembelajaran, administrasi pembelajaran. Sehingga pendidik atau guru diharapkan terampil dan berkompeten.
Dalam berlearning trajectory maka sseorang harus berpikir tinggi/ HOT (High Order Thinking). Tentunya dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya, batasan usia anak SD tentunya berbeda dengan tingkatan anak di atasnya.
Asumsi Adult Learner: (1) motivasi/niat; (2) mandiri; (3) bekerja sama; (4) rasa ingin tahu (curiousity); (5) mampu beradaptasi/ menyesuaikan diri terhadap ruang dan waktu; (6) adopsi; (7) pemanfaatan ilmu yang berasal dari diri sendiri (intrinsik), orang lain (ekstrinsik), dan jejaring sistemik (net working). Ilmu itu harus dimanfaatkan kepada sesama; (8) membangun hidup, yaitu dengan pendidikan atau (membangun learning trajectory) dengan cara hermenitik. Hermenitik adalah proses interaksi atau silaturahmi terhadap sesama, menjalin kekerabatan dengan sesama dengan maksud mendapatkan kebermaknaan tentang kehidupan. Misal, antara guru dengan murid maka akan menghasilkan kepintaran atau kepandaian bagi murid itu sendiri. Antara dosen dengan mahasiswa maka akan menghasilkan kepintaran atau kepandaian bagi mahasiswa itu sendiri.
Itu semua diperolehnya melalui proses hermenitika, proses menerjemahkan an diterjemahkan.

100 menit mengikuti perkuliahan, mendengarkan penjelasan dosen baru kali ini begitu menikmati, begitu asik mengikuti dan mendengarkannya. Karena apa?, karena cara Profesor menyampaikan materi yang unik,lain dari yang lain, dan enjoy (joy full). Terbukti lho, hampir selama perkuliahan diiringi dengan tawa renyah dari Bapak Dosen.
Hal ini juga yang bisa kita petik, dapat kita tiru bahwa nanti pada saat mengajar siswa yang pertama adalah kuasai kelas, ciptakan suasana yang menyenangkan, tidak menegangkan, dan akrablah dengan siswa. Karena dengan semua itu, siswa di kelas akan menjadi nyaman dan selanjutnya materi yang kita sampaikan, insyaalloh bisa diterima dengan baik dan proses pembelajaran akan berkualitas serta bermakna.


----------END---------