Refleksi Perkuliahan
3
4 Maret 2015
Menghilangkan Spiritualitas Sama Dengan Menjemput Disorientasi Bangsa Serta Mundurnya Kualitas Pendidikan
Perkuliahan “Pengembangan Learning Trajectory” pada kali ini
dimulai dengan tes jawab singkat yang dibacakan secara dikte sejumlah 50 soal. Menurut
beliau tingkatan seseorang mengikuti perkuliahan jenjang S2 salah satu
hakikatnya menekankan pada keterampilan proses berpikir ilmiah, jadi tujuannya
mengembangkan keterampilan dalam proses berpikir baik itu mengenai apa yang
menjadi bahan materi perkuliahan, diskusi masalah-masalah sosial, realita
pendidikan, maupun isu-isu yang terjadi di masyarakat.
Dengan adanya tes jawab singkat, Prof.
Marsigit ingin mengetahui kemampuan mahasiswanya mengenai definisi ilmu berdasarkan
porsi bagiannya masing-masing. Jawaban yang diterima oleh masing-masing
mahasiswa dapat diasumsikan bahwa apakah mahasiswa selama mengikuti perkuliahan
terukur paham atau tidaknya, dan diantaranya mengetahui frekuensi untuk membaca
berbagai postingan di blog. Berikut ini saya paparkan definisi suatu ilmu.
Apa yang dapat saya tangkap dari
tes jawab singkat tersebut adalah kita harus mengetahui dan memahami definisi
masing-masing ilmu. Keberadaan ilmu itu sangat luas dan beragam, karena mata
kuliah ini berkaitan dengan pendidikan maka tidak lantas hanya memahami
definisi dari ilmu pendidikan saja melainkan masih banyak ilmu-ilmu lain yang
setidaknya harus dimengerti dan dipahami hakikatnya.
Berkaitan dengan esensi dari mata
kuliah “Pengembangan Learning Trajectori” mengenai cara seorang pendidik dapat
membelajarkan siswanya, bahwa seorang pendidik harus mengetahui cara berpikir
siswa ketika mentransfer pengetahuannya, alangkah baiknya seorang guru dalam
mempelajari sesuatu harus cerdas dahulu baik substansinya maupun hal lainnya.
Hal itu digunakan sebagai dasar dalam memaknai sesuatu. Sebagai dasar dalam
cara membelajarkan siswanya. Tidak mungkin seorang guru tanpa paham dulu cara
berpikir siswa, di dalam membelajarkan menggunakan bahasa formalnya guru.
Kemampuan siswa untuk memahami itu tidak
akan sampai, karena idealnya siswa belajar menggunakan kemampuan berpikir sintetik
aposteriori. Diambil suatu pemisalan seorang guru menjelaskan matematika kepada
siswa SD sama dengan ketika guru menjelaskan matematika untuk tingkatan SMA
atau perkuliahan itu namanya matematika murni, atau matematikanya orang dewasa.
Hasilnya adalah siswa SD yang diajarkan guru dengan cara demikian akan bingung,
tidak akan paham, siswa tidak menangkap dengan jelas apa yang dimaksudkan guru.
Hal ini mengapa? Jawabannya adalah saat berada pada tingakatan usia SD
sesungguhnya berada pada tingkatan operasional konkret yang cara belajarnya
masing belum bisa berpikir abstrak, masih belajar menggunakan hal-hal yang
konkret. Siswa bisa belajar apabila siswa melihat langsung, memegang benda atau
objek langsung, atau keterkaitan indra penglihatan, pendengaran dan indra peraba
masih mendominasi. Ini yang dinamakan tingkatan SD belajar matematika
menggunakan kemampuan berpikir sintetik apriori, ini sangat cocok ketika
diajarkan untuk siswa SD. Jadi seorang guru yang pertama adalah harus bisa
membedakan mana yang disebut matematika murni, matematika dewasa, atau
matematika analitik, dan mana yang disebut matematika sintetik atau “matematika
untuk anak kecil”. Analitik adalah ilmu yang kebenarannya berdasarkan
ketentuan. Pemahaman siswa untuk mengikuti cara berpikir yang seperti itu tidak
akan dapat untuk memahaminya, karena cenderung pada hasilnya saja tanpa mengetahui
prosesnya. Sedangkan, sintetik adalah ilmu yang kebenarannya berdasarkan
sebabnya atau sebab-akibat, karena setiap unsur ada sebab dan ada akibat,
karena terdapat benda atau alat peraga yang dapat dimanipulasi saat pelaksanaan
pembelajaran maka akan berakibat atau berkontribusi pada pemahaman siswa. Berpikir
aposteriori, adalah memahami ilmu bahwa kebenarannya mengikuti peristiwa. Disinilah
hakikatnya dan ketepatannya anak usia SD saat ia belajar. Apabila itu sudah
dipahami dengan baik, maka selanjutnya terutama pada tingkatan kelas tinggi
guru akan mengarahkan pada proses berpikir formal atau abstrak, menuju pada
tahapan analitik apriori. Analitik adalah ilmu dimana kebenarannya berdasarkan
pada ketentuan, sedangkan apriori adalah ilmu yang kebenarannya mendahului
peristiwa. Tetapi dalam menuju pada proses tersebut, tidaklah mudah, diperlukan
proses dan kerjasama antara guru dan siswa itu sendiri.
Tetapi pemikiran itu disanggah
atau ditengahi oleh Immanuel Kant, seorang filsuf dari aliran kritisisme
bahwasannya untuk menjadi ilmu pengetahuan diperlukan pengalaman dan logika.
Pengalaman diambil dari sintetik, dan logika diambil dari apriori. Sebaik-baik
ilmu adalah gabungan antara sintetik dengan apriori. Aliran kritisisme menekankan
bahwa untuk mendapatkan pengatahuan tidak semata-mata diperoleh dari akal atau
rasio saja, tida semata-mata diperoleh berdasarkan pengalamannya saja melainkan
menggabungkan antara keduanya. Bahwa ilmu pengetahuan itu diperoleh berdasarkan
pemerolehan akal/ rasio dan pengalamannya. Maka sebenar-benarnya ilmu itu
besifat sintetik apriori.
Keberadaan Ilmu
Dalam filsafat ilmu, terdapat ilmu yang ada dan ilmu yang
mungkin ada. Ilmu yang ada bersifat tetap sedangkan ilmu yang mungkin ada
bersifat berubah. Sebenar-benarnya ilmu yang tetap dan tidak berubah
sesungguhnya berdasarkan firman Tuhan.
Bila kita telisik kondisi
pendidikan Indonesia sedang mengalami krisis, sedang mengalami kebingungan.
Sampai sekarang masih belum terdapat satu sistem kependidikan yang mampu
menjelaskan keterkaitan yang diturunkan langsung dari landasan dan falsafah
negara pancasila beserta UUD 1945. Dipengaruhi juga oleh keberadaan pesatnya
suatu teknologi sehingga dampak globalisasi semakin terasa di komunitas
masyarakat Indonesia. Belum lagi muncul adanya fenomena Auguste Comte, yang
terkenal berupa tiga tahapan sejarah umat manusia yang menjadi landasan penting
aliran positivisme. Terutama pada tahapan ketiga yang berupa tahapan ilmiah
dimana ketika manusia sudah bisa menaklukan alam dengan kemampuan ilmiahnya, maka
sudah tidak lagi membutuhkan campur tangan Tuhan.
Pemikiran Auguste Comte muncul
pada 200 tahun lalu bahwasannya ia menolak filsafat. Comte menyebutkan bahwa
apabila suatu bangsa ingin maju bahwasannya diantaranya menggunakan metode
scientific yang sekarang ini sudah mulai diimplementasikan dalam kurikulum
2013. Tetapi akibatya dalam metode ini tidak mengintegrasikan/ menggunakan
agama dikarenakan agama menurutnya sangat tidak logis khususnya pada pemikiran hasil
temuan-temuan ilmiah.
Kondisi yang demikian dirasa tidak
pantas, dan akan menjadikan negara Indonesia tidak mempunyai dasar. Indonesia
berlandaskan pancasila yang dalam proses berpikirnya dari tingkat material,
formal, normatif, dan tingkatan yang paling tinggi adalah sipiritual. Pengembangan
metode scientific ditambah kemajuan teknologi maka lama kemudian dapat
menguasai dunia sehingga tanpa disadari lahirlah Dajal. Dajal dalam filsafat
disebut sebagai sistem yang tidak dikehendaki. Tetapi kondisinya sekarang,
karena teralu berkiblat pada dunia barat maka tingkatan spiritualisme itu
berada pada tingkatan yang paling bawah. Masyarakat terlalu meninggikan
ilmu-ilmu pengetahuan, tidak memikirkan agama sebagai aspek spiritualnya
padahal semua kehidupan tanpa sentuhan agama itu fatal. Situasi yang seperti
ini yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami disorientasi. Alangkah baiknya
bila agama itu selalu dikaitkan dengan kehidupan apapun. Agama hendaknya selalu
menjadi dasarnya kehidupan.
Terkait dengan pendidikan terutama
pelaksanaan kurikulum 2013, maka harus diperbaiki atau dikoreksi penggunaan
pendekatan scientific.
“Pendekatan scientific atau sains yang digunakan utuk semua
mata pelajaran, dilihat dari sudut filsafat dan psikologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Secara ontologis, terdapat hanya dua macam ilmu saja yaitu geistesweisensaften (ilmu humaniora) dan natureweistensaften (ilmu-ilmu kealaman). Pendekatan sain hanya
cocok untuk natureweistesaften,
sedangkan untuk geistesaften yang
cocok adalah hermeneutika atau metode hidup. Jadi dalam hal pendekatan ini,
Kurikulum 2013 telah melanggar atau melabrak atau melahap secara rakus untuk
mengalahkan dan mendominasi ilmu humaniora seperti Agama, Bahasa, Seni dll.
Jika hal ini terus dipaksakan maka akan mengalami banyak kendala ontologis
dalam pelaksanaannya dan dengan demikian tidak akan memberi solusi bagi
mempersiapkan generasi bangsa yang tangguh, tetapi malah menambah daftar carut
marut pendidikan Indonesia yang memang tidak dan belum pernah mengalami keadaan
sehat sejak lahirnya republik ini.”
Dikutip dari Makalah yang berjudul Tantangan dan Harapan
Kurikulum 2013 Bagi Pendidikan Matematika, oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Menanggapi hal di atas, maka penggunaan metode scientific
sebaiknya tidak diterapkan pada semua mata pelajaran, tetapi hanya mata
pelajaran tertentu yaitu mengenai ilmu-ilmu kealaman.
Implikasi mengintegrasikan antara
kehidupan agama dengan praktik kehidupan sehari-hari misalnya dalam dunia
sekolah untuk mengawali dan mengakhiri pembelajaran maka dibiasakan dengan
berdoa sesuai ajaran dan keyakinannya. Karena doa berkaitan dengan keyakinan
beragama dalam menjalani hidup. Metode yang seharusnya dalam mencari bekal
hidup tidak hanya dengan pikiran tetapi dengan hati dan juga keyakinan. Ilmu
bisa menuju ke hati dan juga pikiran, serta terangnya hati dikarenakan
keberadaan ilmu juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar