Total Tayangan Halaman

Selasa, 17 Maret 2015

Refleksi Perkuliahan 3
4 Maret 2015

Menghilangkan Spiritualitas Sama Dengan Menjemput Disorientasi Bangsa Serta Mundurnya Kualitas Pendidikan

Perkuliahan “Pengembangan Learning Trajectory” pada kali ini dimulai dengan tes jawab singkat yang dibacakan secara dikte sejumlah 50 soal. Menurut beliau tingkatan seseorang mengikuti perkuliahan jenjang S2 salah satu hakikatnya menekankan pada keterampilan proses berpikir ilmiah, jadi tujuannya mengembangkan keterampilan dalam proses berpikir baik itu mengenai apa yang menjadi bahan materi perkuliahan, diskusi masalah-masalah sosial, realita pendidikan, maupun isu-isu yang terjadi di masyarakat. 

Dengan adanya tes jawab singkat, Prof. Marsigit ingin mengetahui kemampuan mahasiswanya mengenai definisi ilmu berdasarkan porsi bagiannya masing-masing. Jawaban yang diterima oleh masing-masing mahasiswa dapat diasumsikan bahwa apakah mahasiswa selama mengikuti perkuliahan terukur paham atau tidaknya, dan diantaranya mengetahui frekuensi untuk membaca berbagai postingan di blog. Berikut ini saya paparkan definisi suatu ilmu. 



























Apa yang dapat saya tangkap dari tes jawab singkat tersebut adalah kita harus mengetahui dan memahami definisi masing-masing ilmu. Keberadaan ilmu itu sangat luas dan beragam, karena mata kuliah ini berkaitan dengan pendidikan maka tidak lantas hanya memahami definisi dari ilmu pendidikan saja melainkan masih banyak ilmu-ilmu lain yang setidaknya harus dimengerti dan dipahami hakikatnya.
Berkaitan dengan esensi dari mata kuliah “Pengembangan Learning Trajectori” mengenai cara seorang pendidik dapat membelajarkan siswanya, bahwa seorang pendidik harus mengetahui cara berpikir siswa ketika mentransfer pengetahuannya, alangkah baiknya seorang guru dalam mempelajari sesuatu harus cerdas dahulu baik substansinya maupun hal lainnya. Hal itu digunakan sebagai dasar dalam memaknai sesuatu. Sebagai dasar dalam cara membelajarkan siswanya. Tidak mungkin seorang guru tanpa paham dulu cara berpikir siswa, di dalam membelajarkan menggunakan bahasa formalnya guru. Kemampuan siswa untuk memahami  itu tidak akan sampai, karena idealnya siswa belajar menggunakan kemampuan berpikir sintetik aposteriori. Diambil suatu pemisalan seorang guru menjelaskan matematika kepada siswa SD sama dengan ketika guru menjelaskan matematika untuk tingkatan SMA atau perkuliahan itu namanya matematika murni, atau matematikanya orang dewasa. Hasilnya adalah siswa SD yang diajarkan guru dengan cara demikian akan bingung, tidak akan paham, siswa tidak menangkap dengan jelas apa yang dimaksudkan guru. Hal ini mengapa? Jawabannya adalah saat berada pada tingakatan usia SD sesungguhnya berada pada tingkatan operasional konkret yang cara belajarnya masing belum bisa berpikir abstrak, masih belajar menggunakan hal-hal yang konkret. Siswa bisa belajar apabila siswa melihat langsung, memegang benda atau objek langsung, atau keterkaitan indra penglihatan, pendengaran dan indra peraba masih mendominasi. Ini yang dinamakan tingkatan SD belajar matematika menggunakan kemampuan berpikir sintetik apriori, ini sangat cocok ketika diajarkan untuk siswa SD. Jadi seorang guru yang pertama adalah harus bisa membedakan mana yang disebut matematika murni, matematika dewasa, atau matematika analitik, dan mana yang disebut matematika sintetik atau “matematika untuk anak kecil”. Analitik adalah ilmu yang kebenarannya berdasarkan ketentuan. Pemahaman siswa untuk mengikuti cara berpikir yang seperti itu tidak akan dapat untuk memahaminya, karena cenderung pada hasilnya saja tanpa mengetahui prosesnya. Sedangkan, sintetik adalah ilmu yang kebenarannya berdasarkan sebabnya atau sebab-akibat, karena setiap unsur ada sebab dan ada akibat, karena terdapat benda atau alat peraga yang dapat dimanipulasi saat pelaksanaan pembelajaran maka akan berakibat atau berkontribusi pada pemahaman siswa. Berpikir aposteriori, adalah memahami ilmu bahwa kebenarannya mengikuti peristiwa. Disinilah hakikatnya dan ketepatannya anak usia SD saat ia belajar. Apabila itu sudah dipahami dengan baik, maka selanjutnya terutama pada tingkatan kelas tinggi guru akan mengarahkan pada proses berpikir formal atau abstrak, menuju pada tahapan analitik apriori. Analitik adalah ilmu dimana kebenarannya berdasarkan pada ketentuan, sedangkan apriori adalah ilmu yang kebenarannya mendahului peristiwa. Tetapi dalam menuju pada proses tersebut, tidaklah mudah, diperlukan proses dan kerjasama antara guru dan siswa itu sendiri.
Tetapi pemikiran itu disanggah atau ditengahi oleh Immanuel Kant, seorang filsuf dari aliran kritisisme bahwasannya untuk menjadi ilmu pengetahuan diperlukan pengalaman dan logika. Pengalaman diambil dari sintetik, dan logika diambil dari apriori. Sebaik-baik ilmu adalah gabungan antara sintetik dengan apriori. Aliran kritisisme menekankan bahwa untuk mendapatkan pengatahuan tidak semata-mata diperoleh dari akal atau rasio saja, tida semata-mata diperoleh berdasarkan pengalamannya saja melainkan menggabungkan antara keduanya. Bahwa ilmu pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pemerolehan akal/ rasio dan pengalamannya. Maka sebenar-benarnya ilmu itu besifat sintetik apriori.

    Keberadaan Ilmu

        Dalam filsafat ilmu, terdapat ilmu yang ada dan ilmu yang mungkin ada. Ilmu yang ada bersifat tetap sedangkan ilmu yang mungkin ada bersifat berubah. Sebenar-benarnya ilmu yang tetap dan tidak berubah sesungguhnya berdasarkan firman Tuhan.


      Fenomena Comte

Bila kita telisik kondisi pendidikan Indonesia sedang mengalami krisis, sedang mengalami kebingungan. Sampai sekarang masih belum terdapat satu sistem kependidikan yang mampu menjelaskan keterkaitan yang diturunkan langsung dari landasan dan falsafah negara pancasila beserta UUD 1945. Dipengaruhi juga oleh keberadaan pesatnya suatu teknologi sehingga dampak globalisasi semakin terasa di komunitas masyarakat Indonesia. Belum lagi muncul adanya fenomena Auguste Comte, yang terkenal berupa tiga tahapan sejarah umat manusia yang menjadi landasan penting aliran positivisme. Terutama pada tahapan ketiga yang berupa tahapan ilmiah dimana ketika manusia sudah bisa menaklukan alam dengan kemampuan ilmiahnya, maka sudah tidak lagi membutuhkan campur tangan Tuhan.
Pemikiran Auguste Comte muncul pada 200 tahun lalu bahwasannya ia menolak filsafat. Comte menyebutkan bahwa apabila suatu bangsa ingin maju bahwasannya diantaranya menggunakan metode scientific yang sekarang ini sudah mulai diimplementasikan dalam kurikulum 2013. Tetapi akibatya dalam metode ini tidak mengintegrasikan/ menggunakan agama dikarenakan agama menurutnya sangat tidak logis khususnya pada pemikiran hasil temuan-temuan ilmiah.
Kondisi yang demikian dirasa tidak pantas, dan akan menjadikan negara Indonesia tidak mempunyai dasar. Indonesia berlandaskan pancasila yang dalam proses berpikirnya dari tingkat material, formal, normatif, dan tingkatan yang paling tinggi adalah sipiritual. Pengembangan metode scientific ditambah kemajuan teknologi maka lama kemudian dapat menguasai dunia sehingga tanpa disadari lahirlah Dajal. Dajal dalam filsafat disebut sebagai sistem yang tidak dikehendaki. Tetapi kondisinya sekarang, karena teralu berkiblat pada dunia barat maka tingkatan spiritualisme itu berada pada tingkatan yang paling bawah. Masyarakat terlalu meninggikan ilmu-ilmu pengetahuan, tidak memikirkan agama sebagai aspek spiritualnya padahal semua kehidupan tanpa sentuhan agama itu fatal. Situasi yang seperti ini yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami disorientasi. Alangkah baiknya bila agama itu selalu dikaitkan dengan kehidupan apapun. Agama hendaknya selalu menjadi dasarnya kehidupan.  

Terkait dengan pendidikan terutama pelaksanaan kurikulum 2013, maka harus diperbaiki atau dikoreksi penggunaan pendekatan scientific.

“Pendekatan scientific atau sains yang digunakan utuk semua mata pelajaran, dilihat dari sudut filsafat dan psikologis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Secara ontologis, terdapat hanya dua macam ilmu saja yaitu geistesweisensaften (ilmu humaniora) dan natureweistensaften (ilmu-ilmu kealaman). Pendekatan sain hanya cocok untuk natureweistesaften, sedangkan untuk geistesaften yang cocok adalah hermeneutika atau metode hidup. Jadi dalam hal pendekatan ini, Kurikulum 2013 telah melanggar atau melabrak atau melahap secara rakus untuk mengalahkan dan mendominasi ilmu humaniora seperti Agama, Bahasa, Seni dll. Jika hal ini terus dipaksakan maka akan mengalami banyak kendala ontologis dalam pelaksanaannya dan dengan demikian tidak akan memberi solusi bagi mempersiapkan generasi bangsa yang tangguh, tetapi malah menambah daftar carut marut pendidikan Indonesia yang memang tidak dan belum pernah mengalami keadaan sehat sejak lahirnya republik ini.”
Dikutip dari Makalah yang berjudul Tantangan dan Harapan Kurikulum 2013 Bagi Pendidikan Matematika, oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.
 
Menanggapi hal di atas, maka penggunaan metode scientific sebaiknya tidak diterapkan pada semua mata pelajaran, tetapi hanya mata pelajaran tertentu yaitu mengenai ilmu-ilmu kealaman.

Implikasi mengintegrasikan antara kehidupan agama dengan praktik kehidupan sehari-hari misalnya dalam dunia sekolah untuk mengawali dan mengakhiri pembelajaran maka dibiasakan dengan berdoa sesuai ajaran dan keyakinannya. Karena doa berkaitan dengan keyakinan beragama dalam menjalani hidup. Metode yang seharusnya dalam mencari bekal hidup tidak hanya dengan pikiran tetapi dengan hati dan juga keyakinan. Ilmu bisa menuju ke hati dan juga pikiran, serta terangnya hati dikarenakan keberadaan ilmu juga.

Awal Nur Kholifatur Rosyidah
14712251021
Pendidikan Dasar
Konsentrasi Praktisi (Guru Kelas)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar