Total Tayangan Halaman

Selasa, 28 April 2015

 

SHIGEO KATAGIRI

Kemampuan Berpikir Matematis

Berpikir matematis atau mathematical thinking perlu untuk di ajarkan. Shigeo Katagiri (2004: 4) yang menyatakan bahwa “the most important ability that aritmatic and mathematics courses need to cultivate in order to instill in students to think and make judgment independently is mathematical thinking”. Dengan kata lain berpikir matematis merupakan kemampuan utama dalam perhitungan dan pelajaran matematika, yang perlu diolah untuk menanamkan pada siswa dalam berpikir dan menentukan keputusan secara mandiri. Selanjutnya Shigeo Katagiri (2004: 7) mengungkapkan bahwa “Mathematical thinking allows for: (1) An understanding of the necessity of using knowledge and skills, (2) Learning how to learn by oneself, and the attainment of the abilities required for independent learning”. Dengan kata lain, berpikir matematis memberikan pemahaman akan pentingnya pengetahuan atau pemahaman konsep matematika dan kemampuan dalam memecahkan permasalahan matematika, serta belajar bagaimana belajar sendiri dapat mencapai kemampuan yang dibutuhkan dalam belajar mandiri.
Shigeo Katagiri menjelaskan bahwa “The most important ability that arithmetic and mathematics courses need to cultivate in order to instill in students this ability to think and make judgments independently is mathematical thinking”. Jadi dalam pembelajaran matematika, siswa hendaknya memiliki kemampuan untuk mencapai solusi dari suatu permasalahan matematika secara mandiri. Dengan kata lain siswa harus memiliki kemampuan berpikir matematis yaitu kemampuan untuk berpikir dan memutuskan bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan secara mandiri. Sehingga kita dapat menyebutkan bahwa mathematical thinking merupakan pola pikir yang menyertai proses-proses dan aktivitas matematis, baik yang diajarkan di sekolah maupun kehidupan seharihari.
Shigeo Katagiri (2004: 13-14) membedakan mathematical thinking ke dalam tiga kategori, yaitu: mathematical attitudes, mathematical thinking related to mathematical methods, dan mathematical thinking related to mathematical contents.
I.         Matematical Attitudes atau Sikap matematika
1.         Mencoba untuk memahami masalah sendiri atau tujuan yang jelas oleh diri sendiri:
            a.    Mencoba untuk memiliki pertanyaan
            b.    Mencoba untuk mempertahankan kesadaran akan permasalahan
            c.    Mencoba untuk menemukan masalah matematika dalam fenomena
2.         Mencoba untuk mengambil tindakan logis
a.    Mencoba untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan tujuan
b.    Mencoba untuk membangun perspektif
c.    Mencoba untuk berpikir berdasarkan data yang dapat dimanfaatkan, yang telah dipelajari sebelumnya, dan membuat tanggapan atau asumsi
3.         Mencoba untuk mengekspresikan hal-hal secara jelas dan ringkas
a.    Mencoba untuk merekam dan mengkomunikasikan masalah serta menghasilkannya secara jelas dan ringkas.
b.    Mencoba untuk memilah dan mengorganisasikan objek ketika mengekspresikan atau mengkomunikasikannya.  
4.         Mencoba untuk mencari hal-hal yang lebih baik
a.    Mencoba untuk menaikkan pemikiran dari tingkat konkrit ke tingkat abstrak.
b.    Mencoba untuk mengevaluasi berpikir baik secara obyektif dan subyektif, dan untuk memperbaiki pemikiran.
c.    Mencoba untuk menghemat pemikiran dan usaha
II.      Mathematical Thinking Related to Mathematical Methods atau Berpikir Matematika Terkait dengan Metode Matematika
1.         Berpikir induktif
2.         Berpikir analogis
3.         Berpikir deduktif
4.         Berpikir Integratif (termasuk berpikir yang luas)
5.         Berpikir Perkembangan/ Pengembangan
6.         Berpikir abstrak
7.         Berpikir yang menyederhanakan (generalisasi)
8.         Berpikir menggeneralisasikan
9.         Berpikir yang mengkhususkan
10.     Berpikir yang menyimbolkan
11.     Berpikir yang mengekspresikan dengan angka, dan mengkuantifikasi

III.   Mathematical Thinking Related to Mathematical Contents atau Berpikir Matematika     Terkait dengan Isi Matematika
1.  Mengklarifikasi rangkaian objek untuk dipertimbangkan dan dikecualikan dari rangkaian objek untuk kemudian klarifikasi (rangkaian idea tau gagasan).
2.       Fokus pada unsur penyusunnya (unit) dan ukuran, serta hubungannya (Ide unit).
3.       Mencoba untuk berpikir berdasarkan prinsip-prinsip dasar ekspresi (Ide ekspresi).
4.  Mengklarifikasi dan memperluas makna hal dan operasi, dan mencoba untuk berpikir didasarkan pada hal ini (Ide operasi).
5.        Mencoba untuk memformalkan metode operasi (Ide dari algoritma).
6.       Mencoba untuk memahami gambaran besar dari benda-benda dan operasi, dan menggunakan hasilnya pada pemahaman ini (Ide dari perkiraan).
7.         Fokus pada aturan dasar dan sifat (Ide sifat mendasar).
8.     Mencoba untuk fokus pada apa yang ditentukan oleh keputusan seseorang, menemukan aturan hubungan antara variabel, dan menggunakan yang sama (Berpikir Fungsional).
9.    Mencoba untuk mengekspresikan proposisi dan hubungan sebagai formula, dan membaca maknanya (Ide formula).

Referensi:
Shigeo Katagiri. Mathematical Thinking and How to Teach It.


Identifikasi dan Pengembangan Pembelajaran Matematika di SD Menggunakan Pendekatan Gunung Es Matematika Realistik

Matematika merupakan suatu aktivitas manusia, karena itu siswa tidak bisa dianggap sebagai penerima pasif dari pembelajaran matematika, namun pembelajaran matematika hendaknya memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali pengetahuan matematika dengan memanfaatkan berbagai kesempatan dan situasi nyata yang dialami oleh siswa itu sendiri.
Mempelajari berbagai situasi yang dapat menggambarkan beragam permasalahan akan merupakan suatu pengalaman pembelajaran yang berharga bagi siswa. Pembelajaran pada hakekatnya adalah konstruktivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Diawali dengan menghubungkan matematika dengan situasi nyata, memberikan kesempatan untuk mengembangkan model matematika dan memahami lebih banyak hal pada tingkat yang lebih tinggi. Model-model yang berkembang berdasarkan kemampuan dan aktivitas siswa dapat menghantarkan siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi. RME (Realistic Mathematics Education) dapat dimanfaatkan sebagai titik awal pengembangan ide dan konsep matematika karena melalui model ini lebih mengarahkan dan mengaitkannya pada dunia nyata. Artinya dunia nyata sebagai suatu dunia yang konkret yang disampaikan kepada siswa melalui aplikasi matematika.
Terdapat tiga prinsip kunci RME menurut Gravemeijer dalam (Supinah, 2009: 72-74) yaitu Guided re-invention, Didactical Phenomenology dan Self-delevoped Model.
1.         Guided Re-invention
Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real atau nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat, definisi, teorema, ataupun aturan oleh siswa sendiri.
2.         Didactical Phenomenology
Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi perkembangan matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya.
3.         Self-developed Models
Pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa. kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan bagi siswa. Menurut Supinah (2009: 74) pada pembelajaran dengan Realistic Mathematics Education (RME) diharapkan terjadi urutan situasi nyata→ ”model dari situasi itu→ ”model kearah formal→”pengetahuan formal”.











       Dalam laporan penelitian yang berjudul “Pengembangan Kompetensi Guru Matematika SMP RSBI Melalui Lesson Study (Marsigit, dkk: 31) bahwa Realistics Mathematics Education (RME).meliputi kemampuan guru memfasilitasi belajar matematika melalui tahap-tahap pemanfaatan Dunia Nyata (R1), Pembentukan Skema (R2), Pembangun Pengetahuan (R3), dan Formal Abstrak (R4). Berikut adalah skema dari sebuah model Realistic Mathematics Education (RME).



Berikut ini ditampilkan deskripsi dan iceberg (pendekatan gunung es) pada proses pembelajaran menemukan luas persegi panjang. Langkah-langkah mulai dari menyajikan dalam dunia nyata hingga pada bentuk formal abstrak adalah sebagai berikut:


Berikut adalah deskripsi penjelasan dari masing-masing tahap pembelajaran pendekatan gunung es untuk menemukan luas persegi panjang.
Mata Pelajajaran          : Matematika
Kelas/ Semester           : 3 SD/ II
SK                              :  Menghitung keliling, luas persegi dan persegi panjang, serta penggunaannya dalam pemecahan masalah.
KD                                : 5.2 Menghitung luas persegi panjang

1.        Dunia Nyata
Melakukan Tanya jawab kepada siswa untuk menyebutkan macam benda berbentuk persegi pajang yang ada di lingkungan kelas dan lingkungan sekitar. Selanjutnya anak mengidentifikasi bahwa benda-benda yang telah disebutkan mempunyai panjang dan lebar.  
2.        Pembentukan Skema
Kaitkan benda-benda yang berbentuk persegi panjang dengan konsep pengubinan, misalkan lantai yang tersusun dari keramik. Memberikan pemahaman bahwa satu keramik yang tersusun dikatakan sebagai satu persegi satuan. Siswa menalar bahwa susuan persegi satuan tersebut dapat dihitung.
3.        Pembangun Pengetahuan
Menutup bangun persegi panjang dengan satuan luas berupa persegi satuan. Minta kepada siswa untuk membuat variasi persegi satuan lainnya dengan ukuran berbeda, dan seterusnya sehingga dapat dikembangkan sendiri dengan berbagai ukuran persegi panjang dan berbagai ukuran persegi satuan. Setelah itu hitung banyaknya persegi satuan yang menutupi daerah persegi panjang tersebut. Selanjutnya, masing-masing persegi panjang dalam berbagai variasi ukuran ditutup oleh persegi dalam berbagai ukuran, hanya pada satu baris dan satu kolom saja.  Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan panjang dan lebar persegi panjang dalam persegi satuan yang digunakan. Dalam contoh di atas ditemukan bahwa panjangnya 8 satuan dan lebarnya 4 satuan. Jika dihitung hasil kali dari 8 dan 4 adalah 32 ( 8 x 4 = 32 persegi satuan) yang berarti senilai dengan luas persegi panjang yang telah dihitung langsung pada langkah sebelumnya.  
4.        Formal Abstrak
Siswa menyimpulkan bahwa kolom pada model persegi panjang yang digunakan adalah panjang (P), sedangkan barisnya menunjukkan lebar (l). Sehingga siswa dapat menyimpulkan bahwa luas persegi panjang adalah:
Luas persegi panjang = panjang x lebar
Atau L = P x l


Referensi:
Supinah dan Agus D.W,. 2009. Modul Matematika SD Program Bermutu, Strategi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika.

Marsigit, dkk. 2010. Laporan Penelitian Pengembangan Kompetensi Guru Matematika SMP RSBI Melalui Lesson Study. Yogyakarta: Pendidikan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-UNY. 


Oleh:
Awal Nur Kholifatur Rosyidah
14712251021
Pendidikan Dasar
Konsentrasi Praktisi (Guru Kelas)






















Selasa, 14 April 2015

A.      Review Berbagai Macam Teori Belajar/ Alur Pikir Siswa
1.        Behaviorism Theory
Adalah sebuah teori tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, men-dudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi atau dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
1)        Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon

2)        Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu da-lam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut.

Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan pe-nyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Skinner tidak setuju terhadap hukuman dalam proses belajar, dikarenakan beberapa alasan, yaitu:
·      Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
·       Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
·       Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Sumber:
www:http//teori belajar behavioristik-wikipediabahasaIndonesia, ensiklopedia bebas.html

2.        Social Cognitive Theory
Albert Bandura (1986) mengembangkan dan mendefinisikan teori sosial kognitif yang mengemukakan bahwa orang-orang tidak didorong oleh kekuatan batin atau secara otomatis dibentuk dan dikendalikan oleh rangsangan eksternal. Sebaliknya, fungsi manusia dijelaskan dalam model triadic reciprocal determinis, yaitu dorongan dua arah yang berdampak pada perkembangan. Dalam model ini, yang dapat divisualisasikan sebagai sebuah segitiga sama sisi, perilaku, kognitif dan faktor personal lainnya dan peristiwa lingkungan semua beroperasi sebagai faktor penentu berinteraksi satu sama lain. Sifat orang kemudian didefinisikan dalam perspektif triadic ini.


Timbal balik (reciprocal) merujuk pada aksi menguntungkan sementara determinisme menandakan produksi pengaruh. Karena keanekaragaman pengaruh interaksi dalam tiga serangkai, kondisi yang berbeda dapat menyebabkan atau membantu pengaruh yang berbeda.
Oleh karena itu sifat orang yang muncul adalah unik meskipun semua orang didefinisikan dalam tiga serangkai. Karena orang-orang memiliki kemampuan diarahkan diri mereka mampu melakukan kontrol yang signifikan atas pikiran mereka, perasaan dan tindakan. Fungsi pengaturan diri (self regulation) ini merupakan bagian penting dari teori kognitif sosial. Ada interaksi yang berkelanjutan antara diri yang dihasilkan dan sumber pengaruh eksternal. Orang yang membuat panduan untuk perilaku mereka, motivator diri untuk kursus tindakan dan kemudian menanggapi perilaku mereka dengan cara evaluasi diri. Sangat sering standar yang digunakan untuk menilai perilaku didasarkan pada reaksi orang lain yang signifikan dengan perilaku ini.
Penelitian di mana teori ini didasarkan mengandung banyak sisi yang membantu menjelaskan bagaimana orang memperoleh pengetahuan tentang perilaku sosial manusia yang diperlukan agar dapat berfungsi. Salah satu aspek penting dari pembelajaran sosial manusia adalah modeling.

Modeling
Pada tahun 1963 Bandura dan Walters pertama kali menggunakan pembelajaran sosial untuk menunjukkan bahwa pembelajaran akan sangat membosankan jika orang harus bergantung pada trial and error ketika belajar. Untungnya, sebagian besar perilaku manusia dipelajari secara observasional melalui pemodelan.
Individu cenderung untuk memilih model yang prestisius, yang mengontrol sumber daya, atau mereka yang mendapatkan hadiah atas apa yang mereka lakukan. Dengan kata lain, mereka yang perilakunya dirasakan bernilai di dalam budaya mereka. Imitasi terhadap model adalah elemen yang sangat penting dalam bagaimana anak belajar bahasa, menghadapi agresor, menumbuhkan moral, dan belajar perilaku sesuai gender. Belajar mengamati dapat terjadi jika individu tidak meniru perilaku yang diamati (Papalia, 2014: 34-35).
Konseptualisasi pemodelan Bandura jauh lebih komprehensif daripada sebelumnya dan berisi ketentuan untuk mengembangkan pemikiran baru secara kreatif. Dia menyarankan kita untuk mengamati orang lain dan menyandikan informasi yang akan berfungsi sebagai panduan untuk tindakan selanjutnya. Modeling adalah metode pembelajaran sosial sangat efisien yang bisa dilakukan dan dialami sendiri, hanya melalui hasil pengamatan orang lain. Kelima jenis perilaku sosial yang dapat dipelajari dengan cara ini adalah 1. keterampilan kognitif baru dan perilaku; 2. menguatkan atau melemah hambatan yang dipelajari sebelumnya; 3. petunjuk sosial atau bujukan; 4. bagaimana menggunakan lingkungan; 5. ketika menjadi terangsang dan apa reaksi emosional untuk mengekspresikan (Tuckman, 1992).
Bandura memperbarui versi dari teori sosial belajar menjadi teori sosial kognitif. Perubahan nama merefleksikan pengaruh besar dari proses kognitif sebagai inti dari perkembangan. Proses kognitif bekerja seperti individu mengamati model, belajar potongan kecil dari beberapa perilaku, dan secara mental mengambil potongan-potongan tersebut bersama ke dalam pola perilaku baru yang kompleks.

Efikasi diri (Self efficacy)
Self efficacy adalah konsep utama dalam perilaku dan motivasi teori Bandura. Menurut Bandura self efficacy adalah penilaian seseorang tentang kemampuan sendiri untuk melakukan suatu tindakan dengan sukses. Teori Bandura memprediksi bahwa orang akan memilih, terus berada di dalam, dan mengeluarkan usaha pada tugas-tugas yang mereka percaya bahwa mereka dapat melaksanakan dengan sukses. Teori ini juga menunjukkan bahwa orang akan menghindari situasi yang mereka percaya melebihi keterampilan mengatasi mereka. Bandura selanjutnya berteori bahwa self efficacy yang baik akan memberikan ketahanan bagi individu kreatif untuk bertahan dalam mengupayakan tujuan bahkan setelah ditolak berkali-kali. Orang harus memiliki perasaan yang cukup kuat dari self efficacy (faktor percaya diri) karena kompleksitas masyarakat saat ini. Jadi selain keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi dalam masyarakat akan ditambahkan kebutuhan rasa self efficacy cukup kuat.

Relevansi Pendidikan
Di sekolah saat ini telah menjadi semakin penting bagi guru memikul tanggung jawab untuk mengajarkan keterampilan sosial dan perilaku yang baik. Tampaknya teori Bandura, penelitian dan keyakinan semua akhirnya memusatkan perhatian dengan pemberdayaan orang di masyarakat yang adil dan peduli, tujuan yang sama seperti semua pendidik harus memilikinya di dalam kelas. Tujuan ini adalah memberdayakan anak-anak untuk berpikir dan bertindak secara mandiri dengan cara yang murah hati. Lebih dari 200 tahun yang lalu Jean Jacques Rousseau mengatakan "Jauh dari mengecilkan hati keberanian pada murid Anda, tidak ada cadangan untuk mengangkat jiwanya, membuat mereka sama dengan Anda agar mereka bisa menjadi sama dengan Anda" (Rousseau, 1762).

Sumber:
http://etec.ctlt.ubc.ca/510wiki/Albert_Bandura-Social_Cognitive_Theory
Papalia, Diane., dkk. 2014. Menyelami Perkembangan Manusia. (Alih bahasa: Fitriana Wuri Herarti). Jakarta: Salemba Humanika

3.        Cognitive Information Processing
Perspektif kognitif berfokus pada proses dan perilaku yang merefleksikan proses. Perspektif ini meliputi kedua pengaruh teori organismik dan mekanistik. Hal ini termasuk teori tahap kognitif dari Piaget dan teori sosial budaya dari Vygotsky dalam perkembangan manusia. Hal ini juga termasuk pendekatan pengolahan informasi.
Terletak belajar kognitif adalah teori yang mengemukakan belajar "secara alami terkait dengan aktivitas otentik, konteks, dan budaya" (Brown, Collins, & Duguid, 1989). Teori ini menunjukkan bahwa lebih sulit untuk belajar dari kegiatan unnatural. Sebagai contoh, belajar bahasa pertama atau bahasa asing secara meluas dianggap lebih mudah daripada belajar bahasa dari buku teks dan daftar kosakata.
1)        Proses Pemerolehan Informasi (Jean Piaget)
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata tentang bagai-mana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan per-kembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa untuk membangun kemampuan kognitif melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi seiring pertambahan usia:
·           Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun
·           Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
·           Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
·           Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya dalam mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya



2)   Teori Sosial Budaya Lev Vygotsky
Vygotsky melihat pertumbuhan kognitif sebagai proses kolaborasi. Vygotsky menyatakan bahwa individu belajar melalui interaksi sosial. Mereka mendapatkan keterampilan kognitif sebagai bagian dari pengenalan mereka dalam cara hidup. Berbagai aktivitas, membantu anak menginternalisasi mode-mode lingkungan sosial untuk berpikir dan berperilaku. Vygotsky meletakkan penekanan khusus pada bahasa, tidak hanya sebagai ekspresi dari pengetahuan dan pikiran, tetapi juga makna esensial untuk belajar dan berpikir mengenai dunia.
Berdasarkan Vygotsky, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju harus membantu mengarahkan dan mengatur belajar anak sebelum anak dapat menguasai dan menginternalisasi dalam diri anak. Pedoman ini sangat efektif untuk membantu anak melewati zone of proximal development (ZPD), yaitu celah antara apa yang telah berhasil dilakukan oleh diri mereka sendiri dan apa yang bisa mereka capai dengan pendampingan. Instruksi yang sensitif dan efektif, selanjutnya menjadi tujuan dari ZPD dan meningkat dalam kompleksitas dari kemampuan anak yang membaik. Tanggung jawab untuk mengarahkan dan memonitor tahapan belajar beralih ke anak. 



Scaffolding adalah dukungan sementara yaitu orang tua, guru, dan lainnya yang diberikan ke anak untuk melakukan tugasnya hingga anak bisa melakukannya sendiri. Teori Vygotsky memiliki implikasi penting untuk pendidikan dan pengujian kognitif. Pengujian yang berfokus pada potensi anak untuk belajar menyediakan alternatif yang bernilai terhadap tes intelegensi standar yang menguji apa yang telah anak pelajari. Ide-ide Vygotsky yang telah sukses diimplementasikan pada kurikulum anak-anak prasekolah menunjukkan janji yang besar untuk mempromosikan perkembangan dari self regulation (pengaturan diri), yang akan berdampak pada pencapaian akademis. 
Pendekatan Pengolahan Informasi
Pendekatan pengolahan informasi digunakan untuk menjelaskan perkembangan kognitif dengan menganalisis proses yang melibatkan membuat masuk akal informasi yang datang dan menampilkan tugas secara efektif; misalnya proses atensi, memori, strategi perencanaan, pengambilan keputusan, dan penetapan tujuan.
Beberapa teori pengolahan informasi membandingkan otak dengan sebuah komputer, ada input-input tertentu (impresi sensori) dan output-output tertentu (perilaku). Teori pengolahan informasi untuk mengetahui apa yang terjadi di tengah/ di antara. Bagaimana  otak menggunakan sensi dan persepsi menyatakan kata yang tidak umum dan kemudian mengenali kata tersebut lagi. Pada bagian besar pengolahan informasi peneliti menggunakan data pengamatan untuk me-nyimpulkan apa yang terjadi antara stimulasi dan respon. Beberapa pengolahan informasi telah mengembangkan model komputasi atau diagram alur yang menganalisis langkah-langkah spesifik dari individu dalam mengumpulkan, meyimpan, memanggil, dan menggunakan informasi.
Teori pengolahan informasi melihat individu sebagai pemikir aktif mengenai dunianya, tidak berbicara dalam istilah tentang tahap-tahap perkembangan karena lebih memandang perkembangan sebagai proses berkelanjutan dan bertahap.  Teori pengolahan informasi terkait dengan usia akan meningkat dalam hal kecepatan, kompleksitas, dan efisiensi dari proses mental dan di dalam jumlah dan keberagaman materi yang bisa disimpan dalam memori (Papalia, 2014: 28).

Sumber:
Papalia, Diane., dkk. 2014. Menyelami Perkembangan Manusia. (Alih bahasa: Fitriana Wuri Herarti). Jakarta: Salemba Humanika

4.        Meaningful Lerning Teory
Pembelajaran bermakna bertentangan dengan hafalan dan mengacu pada cara belajar di mana pengetahuan baru untuk memperoleh hubungan dengan pengetahuan sebelumnya (Ausubel 2000).
Ausubel (1967: 10) memfokuskan pada pembelajaran bermakna, jelas diartikulasikan dan tepat dibedakan pengalaman sadar yang muncul ketika secara potensial menimbulkan gejala yang bermakna, simbol, konsep, atau proposisi terkait dengan yang tergabung dalam struktur kognitif individu tertentu. Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1)        Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki sehingga peserta didik tersebut dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan, yaitu:
·      Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
·      Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasi memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya.
2)        Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif  yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.

Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi pada struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik meng-hubungkan atau mengaitkan informasi baru tersebut dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.

Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel
1)        Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru dengan struktur kognitif yang dimiliki.
2)        Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia menghafalnya.
3)        Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk final atau akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki.
4)        Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.

Sumber:
www://fpmipa. Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesi. Learning Theories. File pdf

5.        Development Approach
1)   Teori Piaget
Jean Piaget percaya bahwa anak-anak dalam mengembangkan kognisi dan pengetahuan dengan terus berkembang melalui serangkaian tahap perkembangan. Piaget membuat hipotesis bahwa setiap tahapan terjadi secara berurutan, dan bahwa tidak ada tahapan yang bisa terlewatkan. Untuk berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya, anak-anak melalui penggunaan asimilasi, akomodasi, serta equilibrium, mendapatkan dan membangun schemata yang ditransfer ke tahap berikutnya dan dibangun lebih lanjut dengan cara konstruktivis. Piaget percaya bahwa pengetahuan benar-benar terdiri dari skema dan struktur kognitif. Dua bentuk utama dari pengetahuan bahwa Piaget sangat khawatir dengan pengetahuan operatif dan figuratif. Pengetahuan Operatif terdiri dari pengetahuan tentang bagaimana hal akan berubah, misalnya visual. Sementara pengetahuan figuratif terdiri dari hal-hal yang tidak berubah, misalnya stimulus sensorik.
Proses belajar menurut Piaget terdiri dari tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Berikut adalah penjelasannya:
·      Asimilasi: Menggabungkan struktur logis baru (atau skema) ke skema yang sudah ada bahwa kemudian berlaku pada dunia di sekitar kita.
·      Akomodasi: Memodifikasi struktur logis atau skema untuk kesepakatan yang lebih baik dengan lingkungan.
·      Equalibriation: Keseimbangan antara struktur kognitif asimilasi dan akomodasi dalam mencapai pengetahuan.
·      Egosentrisme: Kegagalan untuk memahami bagaimana titik sudut pandang orang lain yang mungkin akan berbeda dari mereka sendiri.

Penelitian Piaget menunjukkan fakta bahwa egosentrisme adalah yang paling menonjol sebelum usia enam atau tujuh tahun. Namun, kemudian penelitian Piaget maupun dari peneliti lain, memiliki hipotesis bahwa egosentrisme dapat timbul pada setiap tahap perkembangan, tetapi dalam bentuk yang baru dan berbeda.


Teori Piaget berpusat pada empat tahap perkembangan yang terjadi pada anak-anak, yaitu sebagai berikut:
1.    Tahap Sensorimotor
·      Kecerdasan ini ditunjukkan melalui aktivitas motorik tanpa menggunakan simbol-simbol.
·      Pengetahuan tentang dunia terbatas karena didasarkan pada interaksi fisik atau pengalaman.
·      Anak-anak mendapatkan objek permanen sekitar 7 bulan.
·      Perkembangan fisik (mobilitas) memungkinkan anak untuk mulai mengembangkan kemampuan intelektual baru.
·      Beberapa simbol kemampuan bahasa yang dikembangkan pada akhir tahap ini.
2.    Tahap Pra-Operasional
·      Kecerdasan ditunjukkan melalui penggunaan simbol-simbol, penggunaan bahasa yang matang, serta ingatan dan imajinasi yang dikembangkan.
·      Berpikir dilakukan secara logis, dengan cara non-reversibel 
·      Dominan Berpikir egosentris
3.    Tahap Operasional Konkret
·      Kecerdasan ini ditunjukkan melalui manipulasi logis dan sistematis            terhadap simbol yang berkaitan dengan benda-benda konkrit.
·      Pemikiran operasional berkembang (tindakan mental yang bersifat reversibel).
·      Pemikiran egosentris berkurang.
4.    Tahap Operasional Formal
·      Kecerdasan ini ditunjukkan melalui manipulasi logis dari simbol yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.
·      Pada awal periode ini kembali kepada pemikiran egosentris.
·      Banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini.




1)   Vygotsky, ZPD - Dari Piaget, Perspektif Perkembangan Kesiapan
Vygotsky's Zone of Proximal Development--From a Piagtian Developmental Readiness
Vygotsky,  Zone of Proximal Development (ZPD), hanya menempatkan daerah antara apa yang seseorang dapat mencapai perkembangan dalam hal pemecahan masalah pada titik tertentu, dan apa yang mereka berpotensi dapat dicapai melalui pemecahan masalah dengan bantuan seseorang yang lebih mampu (perkembangan berkelanjutan).
Bagi Piaget, ZPD ini mirip dengan berpindah satu dari empat tahap tentang perkembangan selanjutnya. Tahapan bagi Piaget akan berkembang (yang sedang berlangsung) terkait dengan setiap tahapan, dari dimulainya kesimpulan. Piaget juga membuat hipotesis bahwa manusia menggunakan struktur kognitif untuk mencapai dan mengembangkan pengetahuan. Struktur kognitif adalah bagaimana kita menghadapi dan menginterpretasi dunia untuk memperoleh pengetahuan. Bentuk yang paling penting dari pengetahuan bagi Piaget akan menjadi pengetahuan operatif, yang berkaitan dengan mengetahui tentang perubahan. (Campbell, 2006).
Oleh karena itu, untuk Piaget, mencapai pengetahuan operatif ini mirip dengan orang yang berada dalam ZPD tersebut. Dia melihat struktur kognitif sebagai organis dan dinamis, seperti ZPD Vygotsky, di mana pelajar terus maju dalam perolehan keterampilan pemecahan masalah, dan akibat dari perkembangan (Campbell, 2006).
ZPD bergantung pada perintah, model, petunjuk, pertanyaan terkemuka, dll untuk membantu pelajar mengalami kemajuan perkembangan. Piaget berpendapat bahwa ini adalah identik dengan konsepnya yaitu akomodasi dan asimilasi, keduanya merupakan cara untuk memasukkan pengetahuan ke dalam struktur kognitif.
Oleh karena itu Piaget akan melihat ZPD sebagai prinsip perkembangan, karena kedua konsep mengandalkan pada membangun pengetahuan, meskipun melalui mekanisme yang berbeda (asimilasi dan akomodasi vs perintah, dll).
Namun, Piaget tidak setuju dengan Vygotsky tentang pengaruh budaya terhadap ZPD. Sebagai tahapan teori bukan faktor dalam aspek budaya pada perkembangan, Piaget akan menunjukkan bahwa teorinya bersifat universal, dan bukan mengarah pada pengaruh budaya tertentu.

Sumber:

6.        Social Formation Theory
Teori Aktivitas adalah suatu gagasan yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1920-an. Saat itu terdapat dua asumsi dasar yang ditetapkan menjadi gagasan yaitu: (1) pengetahuan diperantarai melalui penggunaan alat-alat dan artefak. (2) aktivitas merupakan unit dasar analisis.
Teori Aktivitas memaparkan bahwa ketika individu terlibat dan berinteraksi dengan lingkungan, mereka memusatkan perhatian dengan produksi dan menggunakan alat-alat untuk mendapatkan hasil. Alat ini "exteriorized" berupa proses mental, yang menjadi lebih mudah diakses dan dikomunikasikan kepada orang lain. Hasil akhirnya adalah bahwa dasar interaksi sosial didukung oleh kriteria eksternal. Tokoh teori ini adalah Lev Vygotsky, Alexander Luria, dan Alexei Nikolaevich Leontiev.
Di tahun 1970-an Yrjo Engeström menjadi tertarik akan Teori Aktivitas dan bertanggung jawab untuk membuat teori menjadi populer di dunia barat. Engeström mempresentasikan gagasan bahwa Teori Aktivitas bukanlah proses belajar individu. Sebaliknya, belajar adalah sistem fungsi aktivitas yang menyesuaikan dan berkembang sesuai dengan komunitas pelajar, alat-alat dan proses yang digunakan, dan tantangan yang berkembang ketika bekerja dalam sebuah komunitas sosial.

Model Teori Aktivitas
Teori Aktivitas mengusulkan model yang berbeda untuk menjelaskan bagaimana kegiatan dilakukan. Model generasi pertama Vygotsky menjelaskan bahwa alat-alat yang digunakan untuk memediasi antara subjek dan objek, atau tujuan dari kegiatan. Aktivitas selesai dalam rangka mencapai hasil yang diinginkan (Engeström, 1999).




Dalam model generasi kedua Engeström memperluas konsep Teori Aktivitas segitiga dasar Vygotsky dan menambahkan tingkat di mana komponen sosial diperiksa tentang bagaimana mereka mempengaruhi aktivitas. Dalam hal ini pengaruh sosial termasuk masyarakat, aturan, dan pembagian kerja. Model Engeström juga menggambarkan bagaimana pengaruh sosial baru berhubungan satu sama lain. Garis menunjukkan bahwa semua elemen tidak langsung memanipulasi satu sama lain dan hanya hubungan sosial alami membantu kegiatan mencapai tujuan yang diinginkan (Engeström, 1999). Pada model gambar di bawah ini subjek terkait dengan pembagian kerja. Tanpa variabel tambahan, masyarakat, subyek tidak mampu membagi tugas dalam rangka mengarah pada tujuan yang akan dicapai. Selain itu, aturan tidak akan berlaku untuk individu tanpa membuat masyarakat yakin bahwa mereka diikuti.





Lima Prinsip Teori Aktivitas
Teori Aktivitas dapat diringkas melalui lima prinsip berikut (Engeström, 1999):
1.         Kegiatan yang diperantarai melalui manipulasi artefak dan benda-benda.
2.         Sistem aktivitas terdiri dari komunitas ide dan tradisi di mana aplikasi membagi tenaga kerja menciptakan posisi yang berbeda dan semua peserta membawa bersama mereka beberapa lapisan konvensi sejarah, aturan, dan benda-benda.
3.         Sistem Aktifitas mengembangkan dan mentransformasi dari waktu ke waktu yang memungkinkan untuk masalah dan potensi untuk dipahami.
4.         Sistem aktivitas akan tidak diragukan lagi harus berubah karena kontradiksi karena seperti sistem berkembang objek baru, atau aturan, dan dapat bertentangan dengan peran tertentu dalam masyarakat.
5.         Sebuah sistem aktivitas rentan terhadap 'transformasi yang luas' di mana sistem yang baik bisa berubah secara radikal dan dikonseptualisasikan secara ulang.

Pro dan Kontra Teori Aktivitas
Keuntungan dari Teori Aktivitas untuk mencapai tujuan adalah:
1.         Menekankan motivasi dan alasan bagi seorang individu atau kelompok.
2.         Sistem ini berguna untuk mengidentifikasi hasil atau tujuan dari suatu kegiatan.
3.         Melalui berbagi konvensi sejarah para anggota masyarakat yang terkena alat-alat baru serta sumber daya.
4.         Ada kesempatan untuk belajar dari orang lain dalam masyarakat.
5.         Memiliki struktur yang dapat membantu kelompok mencapai tujuan mereka.

Kerugian Teori Aktivitas untuk mencapai tujuan adalah:
1.         Sistem tidak dapat mengantisipasi kontradiksi tertentu yang kemungkinan akan membuat aktivitas berkembang ke arah yang membuat seseorang beradaptasi.
2.         Teori itu sendiri relatif baru dan karena itu memiliki beberapa ideologi abstrak yang membuat sulit untuk memahami dan menerapkan sepenuhnya.
3.         Struktur yang kaku dalam melaksanakan suatu kegiatan dapat mencegah kreativitas.

Sumber:

7.        Representation and Discovery Learning
Belajar penemuan (Discovery learning) adalah teknik pembelajaran berbasis penyelidikan dan dianggap sebagai pendekatan berbasis konstruktivis untuk pendidikan. Hal ini didukung dengan karya ahli teori belajar dan psikolog Jean Piaget, Jerome Bruner, dan Seymour Papert.
Jerome Bruner berpendapat bahwa "Praktek dalam menemukan untuk dirinya sendiri mengajarkan seseorang untuk memperoleh informasi dengan cara membuat informasi menjadi lebih mudah dalam pemecahan masalah". Filosofi ini kemudian menjadi gerakan pembelajaran penemuan dengan menunjukkan bahwa seseorang harus belajar dengan melakukan atau learning by doing.
Belajar penemuan dapat meliputi berbagai teknik instruksional. Menurut meta-analisis tinjauan yang dilakukan oleh Alfieri, Brooks, Aldrich, dan Tenenbaum, tugas belajar penemuan dapat berkisar dari pola deteksi implisit, dengan pendatangan penjelasan dan bekerja melalui panduan untuk melakukan simulasi. Belajar penemuan dapat terjadi kapan saja, siswa tidak disediakan dengan jawaban yang tepat melainkan bahan untuk menemukan jawaban sendiri.
Belajaran penemuan terjadi dalam situasi memecahkan masalah di mana pelajar mengacu berdasarkan pengalamannya sendiri dan pengetahuan sebelumnya dan merupakan metode pengajaran di mana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan mengeksplorasi dan memanipulasi benda, bergulat dengan pertanyaan dan pertentangan atau melakukan percobaan.

Jerome Bruner mengenalkan tiga tahapan representasi kognitif, yaitu:
1.    Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.
2.    Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
3.    Tahap simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.

Efek Belajar Penemuan pada Muatan Kognitif
(The effects of Discovery Learning on the Cognitive Load)
Penelitian telah dilakukan selama beberapa tahun  untuk membuktikan pengaruh yang tidak menguntungkan tentang Discovery Learning, khususnya dengan peserta didik yang baru memulai. Teori Muatan kognitif menunjukkan bahwa eksplorasi bebas dari lingkungan yang sangat kompleks dapat menghasilkan muatan memori kerja berat yang merugikan belajar. Peserta didik mulai tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengintegrasikan informasi baru dengan informasi yang telah mereka pelajari di masa lalu. Sweller melaporkan bahwa alternatif yang lebih baik ke Discovery Learning adalah Guided Instruction. Guided Instruction diproduksi kembali lebih cepat dari fakta-fakta pendekatan tak terbimbing (unguided) seiring dengan mentransfer jangka panjang dan kemampuan memecahkan masalah.
Peningkatan Belajar Penemuan (Enhanced Discovery Learning)
Belajar penemuan meningkatkan proses yang melibatkan dan mempersiapkan pelajar dengan memberikan pengetahuan yang dibutuhkan untuk berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Dalam pendekatan ini, guru tidak hanya memberikan pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga menyediakan bantuan selama tugas. Persiapan ini para pelajar dan pendamping mungkin memerlukan beberapa instruksi langsung.
Aspek lain untuk meningkatkan belajaran penemuan adalah memungkinkan pelajar untuk menghasilkan ide-ide tentang topik sepanjang perjalanan dan kemudian setelah siswa menjelaskan pemikiran mereka. Seorang guru yang meminta siswa untuk menghasilkan strategi mereka sendiri untuk memecahkan masalah dapat diberikan dengan contoh-contoh bagaimana untuk memecahkan masalah yang sama menjelang tugas belajar penemuan. "Seorang siswa mungkin akan muncul ke depan ruangan untuk bekerja melalui masalah pertama, berbagi atau pemikiran dengan keras. Guru mungkin bertanya siswa dan membantu mereka merumuskan pemikiran mereka ke dalam pedoman umum untuk memperkirakan.

Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Discovery_learning

8.        Constructivist Approach
Pendekatan konstruktivisme adalah sebuah pendekatan yang menekankan bahwa belajar adalah suatu proses konstruktif aktif. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menempatkan pelajar sebagai pembangun informasi. Pelajar aktif mem-bangun atau membuat representasi subjektif mereka sendiri tentang realitas objektif, membangun informasi baru terkait dengan pengetahuan sebelumnya. Tokoh pencetus pendekatan konstruktivis adalah: Vygotsky, Piaget, Dewey, Bruner, Vico, dan Rorty.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1.    Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2.    Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya mampu membina pengetahuan mereka secara mandiri.
3.    Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.    Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5.    Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6.    Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Prinsip Pendekatan Konstruktivis
Pendekatan belajar konstruktivis menggunakan dua prinsip utama, yaitu: Pertama, dalam rangka siswa belajar atau menerima pengetahuan dimana dia harus terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan. Persepsi, pengalaman, dan refleksi semuanya penting dalam membentuk pandangan secara keseluruhan. Kedua, "mengetahui sesuatu" yang datang melalui proses adaptasi. Pengalaman pelajar terus menambah informasi bahwa dapat mengubah produk akhir. Hubungan dan interaksi dengan semua yang terlibat sangat membantu untuk merumuskan atau mensintesis pengetahuan. Pengetahuan ini bukan fenomena statis melainkan adalah salah satu yang berkembang dan berubah tergantung pada bagaimana pihak yang terlibat menafsirkan berbagai kegiatan.

Sumber:
http://etec.ctlt.ubc.ca/510wiki/EvaluationConstructivistLearning

9.        Sosial Approach (Teori Belajar Sosial)
Teori belajar sosial adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari pengamatan, penguasaan, dan dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan perilaku orang lain. Dalam pendekatan ini beranggapan bahwa:
a)         Semua perilaku terjadi dalam konteks sosial.
b)        Perilaku seorang individu dipengaruhi oleh orang lain dan masyarakat.
Terdapat beberapa ahli yang mempopulerkan pendekatan ini, yaitu: Neil Miller, John Dollard, Albert Bandura, dan Richard Walters.
Neil Miller dan John Dollard mempopulerkan pendekatan belajar sosial pada tahun 1941, dimana mereka melaporkan hasil percobaan peniruan diantara individu yang tidak disebabkan oleh insting (unsure biologis). Berdasarkan penelitian ini, kita mengetahui bahwa meniru perilaku orang lain dikatakan sebagai proses belajar. Proses belajar ini disebut pembelajaran sosial (social learning). Kedua ahli ini menunjukkan bahwa seseorang belajar mengikuti perilaku orang lain karena adanya imbalan yang akan diperoleh pada akhirnya. Selain itu seseorang dapat meniru perilaku orang lain karena persamaan perilaku yang telah dilihatnya sebelumnya dari pihak yang berbeda di masa lampau.
 Albert Bandura, dan Richard Walters berpendapat bahwa manusia belajar suatu perilaku melalui proses peniruan. Peniruan ini dilakukan meski tanpa adanya penguat (reinforcement) yang diberlakukan terhadapnya. Proses peniruan ini dinamakan observational learning atau belajar melalui pengamatan.
Penelitian Bandura yang terkenal adalah observasinya terhadap perilaku anak-anak yang dapat memiliki kecenderungan berperilaku agresif dengan menonton film tayangan berbau kekerasan.
Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa belajar observasional mengarah pada perubahan perilaku akibat mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar observasional tanpa adanya imitasi.
Walau belajar observasional dapat terjadi dalam setiap tahapan kehidupan, terutama terjadi saat pada anak-anak, karena pada saat itu otoritas dianggap penting. Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut pada boneka yang sama. Bagaimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila perilaku model mendapat penguatan.

10. Technological Approach 
Sistem inovasi teknologi adalah sebuah konsep yang dikembangkan dalam bidang ilmiah penelitian inovasi yang berfungsi untuk menjelaskan sifat dan tingkat perubahan teknologi. Teori yang berhubungan dengan Technological Approach adalah Differentiated Instruction, Understanding by Design and Universal Design for Learning.
Dalam teori Differentiated Instruction, Understanding by Design and Universal Design for Learning terlihat pada kombinasi yang kuat dari tiga model mengajar-belajar yang berbeda, yaitu sebagai beikut:
1.    Understanding by Design (UBD)
Teori ini menjelaskan peningkatan ekspetasi konten di semua tingkatan kelas serta pengujian standar yang membandingkan tingkat prestasi sekolah. Mengajar di kelas telah terpengaruh dengan cara yang tidak sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran. Guru membutuhkan model yang menyumbang standar tetapi juga menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pemahaman dapat mengatasi standar konten serta mengembangkan basis informasi yang kuat. Memahami melalui desain dapat mencoba menyelesaikan tujuan ini.
2.    Differentiated Instruction (DI)
Teori ini melihat pada bagaimana dan dimana kita mengajar siswa, berfokus pada praktik-praktik terbaik untuk masing-masing siswa. selain harapan konten adalah sulitnya memenuhi kebutuhan beragam kelas. Bahasa, budaya, jenis kelamin, kesenjangan ekonomi, motivasi, cacat, kepentingan pribadi, dan gaya belajar serta lingkungan rumah hanya beberapa dari banyak variabel yang membawa siswa ke sekolah. Variabel-variabel ini dapat membuat tidak efektif bahkan kurikulum terbaik jika kebutuhan beragam kelas tidak terpenuhi. Instruksi dibedakan dapat menawarkan kerangka desain kurikulum yang dapat mengakomodasi perbedaan guru ketika di kelas.
3.    Universal Design for Learning (UDL)
Teori ini menyatakan bahwa pembelajaran berusaha untuk memastikan bahwa lingkungan belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan alat-alat belajar mengajar mempromosikan belajar dan menghapus hambatan untuk belajar. Desain adalah istilah yang diciptakan oleh Ron Mace (1960) diterapkan pada desain “bebas hambatan” yang akan menguntungkan semua.

B.      Hubungan Berbagai Macam Teori Belajar atau Alur Pikir Siswa
Kaitan atau hubungan antar teori akan saya paparkan dalam deskripsi berikut ini:
Behaviorism theory dan social cognitive theory mempunyai persamaan, bahwa kedua teori ini menjelaskan adanya proses belajar karena dorongan dari luar. Behaviorism theory dipengaruhi oleh adanya stimulus dan respons yang saling dipengaruhi oleh adanya penguatan dan hukuman dalam proses pembelajaran. Sementara social cognitive theory mempunyai dorongan dari luar yang berasal dari pengaruh sosial dengan mengamati dan meniru orang lain karena terdapat proses imitasi yang dipengaruhi dari seorang model yang kompeten. Dalam proses pembelajaran, terpusat pada guru, siswa berpikir pasif dan ibarat tong kosong dan sebuah kertas putih yang siap menerima informasi dari guru.
Hubungan yang erat tarjadi antara meaningful learning theory (pembelajaran bermakna), social formation teori, social approach, development approach, representation and discovery learning (belajar melalui penemuan), constructivistic approach (membangun pengetahuan dengan menyusun konsep), dan technological approach. Semua teori tersebut menghendaki adanya aktifitas siswa dalam proses belajar. Siswa belajar dengan mengkonstruk konsep dengan cara menghubungkan antara pengalaman yang telah diperoleh dengan proses belajar yang sedang berlangsung sehingga menuju sebuah proses perkembangan. Proses belajar dalam hal ini tidak hanya terbatas pada ruang kelas saja antara siswa dengan guru, melainkan dapat terjadi di mana saja, yang dekat dengan lingkungan siswa atau anak sebagai tempat untuk mengkonstruk pengetahuan yang diperolehnya. Sehingga akan terjadi pembelajaran yang bermakna karena proses belajar terpusat pada siswa, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator.

C.       Peta Konsep Hubungan Berbagai Macam Teori Belajar atau Alur Pikir Siswa